Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia kembali mengalami surplus neraca perdagangan selama 35 bulan berturut-turut sejak Mei 2020 hingga Maret 2023.
"Sektor eksternal kita juga cukup baik yaitu mengalami surplus dari sisi perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia dalam kondisi surplus USD 2,91 miliar," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa April 2023, Senin (17/4/2023).
Baca Juga
Tercatat, nilai ekspor Indonesia Maret 2023 mencapai USD 23,50 miliar atau naik 9,89 persen dibanding ekspor Februari 2023. Namun secara tahunan mengalami penurunan dibanding Maret 2022 sebesar 11,33 persen.
Advertisement
Rinciannya, ekspor migas mengalami kenaikan USD 1,34 miliar atau 12,79 persen dibanding Februari 2023 sebesar USD 1,19 miliar.
Kemudian, ekspor non-migas pada Maret 2023 juga mengalami kenaikan 9,71 persen yaitu menjadi USD 22,16 miliar, dibanding bulan sebelumnya USD 20,20 miliar.
Impor
Sementara, nilai impor Indonesia Maret 2023 mencapai USD 20,59 miliar, naik 29,33 persen dibandingkan Februari 2023 atau turun 6,26 persen dibandingkan Maret 2022.
Jika dirinci, impor migas Maret 2023 mengalami kenaikan 25,28 persen yakni USD 3,02 miliar dibanding Februari 2023 sebesar USD 2,41 miliar.
Sedangkan, impor non-migas pada Maret 2023 juga mengalami kenaikan 30,05 persen yaitu menjadi USD 17,57 miliar, dibanding bulan sebelumnya USD 13,51 miliar.
Â
Waspada Ekonomi Global
Kendati demikian, meskipun surplus perdagangan Indonesia kembali surplus, kata Menkeu Indonesia harus tetap waspada terhadap kondisi perekonomian global yang mulai melemah. Sebab hal itu bisa mempengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia.
"Surplus perdagangan pada bulan Maret adalah pada bulan ke-35, Indonesia secara berturut-turut mengalami surplus perdagangan. Hal yang masih perlu kita waspadai dengan kondisi perekonomian global yang mulai melemah maka kita melihat tren pertumbuhan ekspor dalam hal ini juga mengalami dampaknya, ekspor kita kontraksi 11,3 persen year on year," jelas Menkeu.
Seiring dengan kontraksi tersebut, maka industri manufaktur yang melakukan impor bahan baku dan barang Intermediate dengan modal juga mulai mengalami kontraksi sebesar 6,2 persen.
"Ini tren yang harus kita waspadai, karena sektor eksternal sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang memang mengalami dampak sangat berat akibat geopolitik, inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pengetatan likuiditas yang semuanya membuat pelemahan di dalam perekonomian negara-negara maju tujuan ekspor," pungkasnya.
Advertisement
Sri Mulyani: APBN Maret 2023 Surplus Rp 128,5 Triliun
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat kinerja APBN per Maret 2023 masih terjaga positif. Bahkan APBN mengalami surplus Rp 128,5 triliun atau 0,61 persen dari PDB.
"Bulan Maret posisi dari APBN kita masih sangat positif. Posisi APBN kita sampai dengan akhir Maret masih mengalami surplus Rp 128,5 triliun atau 0,61 persen dari PDB, keseimbangan primer juga surplus Rp 228,8 triliun," kata Sri Mulyanidalam konferensi pers APBN KiTa April 2023, Senin (17/4/2023).
Di sisi lain, per Maret 2023 pendapatan negara mencapai Rp 647,2 triliun atau sudah 26,3 persen dari total target APBN tahun 2023 ini.
"Pendapatan negara ini mengalami pertumbuhan 29 persen, dibanding tahun sebelumnya," ujarnya.
Kemudian, untuk belanja negara. Pemerintah telah membelanjakan Rp 518,7 triliun atau 16,9 persen dari total belanja yang ada di dalam undang-undang APBN.
"Ini juga merupakan kenaikan 5,7 persen dari total belanja hingga bulan Maret Tahun 2022," katanya.
PMI Manufaktur
Lebih lanjut, Menkeu melihat kinerja Purchasing Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur global kembali ke zona kontraksi. Aktivitas manufaktur di hampir 60 persen negara G-20 dan ASEAN-6 masih kontraktif, sementara itu India dan Indonesia masih ekspansif.
"PMI manufaktur Global mengalami kontraksi yang sesuai dengan prediksi bahwa tahun 2023 merupakan tahun yang berat, di mana pelemahan ekonomi akan terjadi di negara-negara maju maupun negara-negara yang harus mengalami kenaikan suku bunga akibat inflasi yang melemahkan perekonomian mereka," kata Menkeu.
PMI Global tercatat di level 49,6. Adapun negara-negara yang termasuk dalam kontraksi adalah Amerika Serikat PMI-nya di level 49,2. Kemudian Eropa di level 47,3; lalu Tiongkok di level 50 PMI-nya.