Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menetapkan Harga Referensi (HR) produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPD-PKS) atau biasa disebut Pungutan Ekspor (PE) untuk periode 16–30 April 2023 adalah USD 932,69 per MT.
Nilai ini meningkat sebesar USD 34,40 atau 3,83 persen dari periode 1–15 April 2023 yang tercatat USD 898,29 per MT.
Baca Juga
Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 922 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil (CPO) yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 16–30 April 2023.
Advertisement
“Saat ini HR CPO mengalami peningkatan yang menjauhi ambang batas sebesar USD 680 per MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini maka pemerintah mengenakan BK CPO sebesar USD 124 per MT dan PE CPO sebesar USD 100 per MT untuk periode 16–30 April 2023,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso dalam keterangan tertulis, Senin (17/4/2023).
BK CPO periode 16–30 April 2023 merujuk pada kolom angka 7 lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK/0.10/2022 jo. Nomor 123/PMK.010/2022 sebesar USD 124 per MT.
Sementara itu, PE CPO periode tersebut merujuk pada lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 jo. Nomor 154/PMK.05/2022 sebesar USD 100 per MT. Nilai BK dan PE CPO tersebutmeningkat dibanding periode 1–15 April 2023.
Peningkatan HR CPO dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya adalah peningkatan permintaan CPO seiring dengan membaiknya perekonomian di negara importir utama CPO, yaitu Tiongkok dan India, serta penurunan persediaan CPO di Malaysia.
Faktor-faktor lainnya adalah peningkatan harga minyak nabati lainnya terutama minyak kedelai, kekhawatiran terhadap krisis perbankan, dan rencana pemangkasan produksi minyak mentah dunia oleh negara-negara OPEC mulai Mei hingga akhir tahun 2023.
Sri Mulyani Sebar Duit ke 350 Daerah Penghasil Sawit, Masing-Masing Minimal Rp 1 Miliar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menyalurkan dana bagi hasil dari sektor perkebunan kelapa sawit, atau DBH sawit minimal Rp 1 miliar kepada 350 daerah penghasil. Kebijakan ini dibuat setelah Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp 3,4 triliun untuk DBH sawit di APBN 2023.
"Kami mengusulkan diterapkannya batas minimum alokasi per daerah untuk tahun anggaran 2023, yaitu untuk setiap daerah paling tidak mendapatkan Rp 1 miliar per daerah," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (11/4/2023).
Untuk perhitungan alokasi per daerah, Sang Bendahara Negara membaginya jadi dua. Pertama, tergantung dari luas lahan dan tingkat produktivitas lahan. Kedua, alokasi berbasis kinerja, yakni bagaimana perubahan tingkat kemiskinan dan rencana aksi daerah (RAD) kelapa sawit berkelanjutan.
"Berdasarkan data yang dimiliki saat ini, jumlah daerah yang akan menerima DBH sawit adalah 350 daerah. Ini terdiri dari daerah penghasil, daerah perbatasan dengan daerah penghasil, dan provinsi dimana daerah penghasil tersebut ada. Di dalamnya termasuk 4 daerah otonomi baru (DOB) di Papua," terangnya.
Adapun secara perhitungan, ongkos DBH sawit sebesar Rp 3,4 triliun ini didapat dari total alokasi DBH pada APBN 2023, yakni Rp 136,25 triliun. Angka itu didapat sesuai hasil rapat kerja Badan anggaran DPR RI dengan pemerintah pada saat pembahasan APBN 2023.
Sumber dananya berasal dari pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). "Besarnya porsi DBH sawit minimal 4 persen, dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan sama keuangan negara," imbuh Sri Mulyani.
Advertisement
Formula pembagian Dana Bagi Hasil
Terkait formula pembagiannya, ia mengatakan, satu provinsi akan mendapatkan 20 persen DBH dari yang minimal 4 persen, kabupaten/kota penghasil 60 persen, sedangkan kabupaten/kota berbatasan 20 persen.
Dengan demikian, apabila DBH tadi minimal 4 persen dari sumber dananya, maka proporsi dari penerimaan provinsi sebesar 20 persen kali 4 persen, atau 0,8 persen dari sumber dana untuk DBH tersebut.
Demikian juga dengan kabupaten/kota penghasil, 60 persen kali 4 persen yaitu 2,4 persen, dan kabupaten/kota perbatasan 20 persen kali 4 persen berarti 0,8 persen.
Namun, lantaran jumlah dan harga dari pungutan ekspor dan bea keluar sawit sangat tergantung daripada harga dan tarif, Sri Mulyani usul diterapkannya batas minimum alokasi per daerah. Sehingga, masing-masing daerah minimal mendapat Rp 1 miliar DBH sawit untuk tahun anggaran 2023.
"Karena nanti kita lihat tahun 2022, beberapa bulan PE dan BK itu nol. Sehingga penerimaannya nol. Sehingga yang menjadi sumber dana untuk dibagi hasilkan nol. Maka, nanti jumlahnya menjadi terlalu kecil, ada daerah yang mendapat sangat kecil," ungkapnya.
"Kami memutuskan ada batas minimum alokasi per daerah, minimal mereka mendapatkan Rp 1 miliar per daerah," kata Sri Mulyani.