Sukses

33 Perusahaan Gagal Bayar di Kuartal I 2023, Cetak Rekor Tertinggi Sejak 2020

Moody's mencatat ada 33 perusahaan yang dinilai gagal membayar utang mereka pada kuartal pertama 2023.

Liputan6.com, Jakarta - Jumlah perusahaan global yang yang gagal bayar atau default semakin bertambah dalam tiga bulan pertama tahun ini dibandingkan akhir 2020, ketika bisnis masih dilumpuhkan oleh pembatasan Covid—19.

Temuan itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat kredit asal Amerika Serikat, Moody's dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Selasa (18/4). 

Melansir CNN Business, Rabu (19/4/2023) Moody's mencatat ada 33 perusahaan yang dinilai gagal membayar utang mereka pada kuartal I 2023.

Ini menandai level tertinggi sejak kuartal terakhir tahun 2020 ketika 47 perusahaan di dunia mengalami gagal bayar.

Hampir setengah, atau 15 perusahaan, gagal bayar bulan lalu, jumlah bulanan tertinggi sejak Desember 2020.

Di antara perusahaan yang default, salah satunya ada Silicon Valley Bank yang kolaps pada bulan Maret, dan perusahaan induknya SVB Financial Group serta Signature Bank.

"Sementara gagal bayar sektor keuangan patut diperhatikan, sebagian besar gagal bayar terus berada di sektor non-keuangan bulan lalu," ungkap Moody's.

Lembaga itu mencatat bahwa perusahaan penyiaran olahraga asal AS, Diamond Sports Group membukukan gagal bayar terbesar berdasarkan jumlah dolar.

Moody's melihat, banyak perusahaan yang terpukul keras oleh kenaikan suku bunga, biaya energi yang tinggi dan prospek pertumbuhan ekonomi global yang meredup.

Salah satunya di Inggris, di mana jumlah perusahaan yang bangkrut melebihi tingkat yang terlihat selama pandemi. Masalah ini terjadi meski Pemerintah sudah mengeluarkan dukungan untuk menjaga bisnis tetap bertahan.

Data dari Layanan Kepailitan Inggris menunjukkan, angka kebangkrutan perusahaan naik 16 persen pada Maret 2023, dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.

 

2 dari 5 halaman

Utang Perusahaan Global Diprediksi Naik jadi 4,6 Persen pada Akhir 2023

Moody's memprediksi, kombinasi dari biaya pinjaman yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan mendorong default pada utang spekulatif perusahaan menjadi 4,6 persen pada akhir tahun ini, naik dari 2,9 persen pada bulan Maret.

Hutang tingkat spekulatif mengacu pada jenis obligasi korporasi yang lebih berisiko, di mana terdapat kemungkinan bahwa peminjam akan gagal bayar.

Pada akhir kuartal pertama tahun depan, tingkat gagal bayar global untuk jenis utang ini kemungkinan akan naik menjadi 4,9 persen Moody's menyebut. Angka itu jauh lebih tinggi dari rata-rata utang jangka panjang sebesar 4,1 persen.

Adapun lembaga pemeringkat kredit lainnya, yaitu S&P Global, mengatakan bulan lalu bahwa mereka memperkirakan 4 persen dari utang perusahaan kelas spekulatif AS akan gagal bayar pada akhir tahun 2023, naik dari 1,7 persen pada akhir tahun 2022, 

"Hal ini didorong oleh pertumbuhan yang melambat, keterlambatan pendapatan, tekanan biaya, dan kondisi keuangan yang ketat membatasi akses ke modal," beber  S&P Global.

3 dari 5 halaman

Eksportir Wajib Tahu, 4 Tips Cegah Masalah Gagal Bayar

Risiko gagal pembayaran seringkali menghantui eksportir pemula yang belum mengenal baik pasar mancanegara. Dengan adanya ketidakstabilan ekonomi yang masif, potensi munculnya risiko pembayaran pun semakin mencuat.

Head of Guarantee and Insurance Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank Salomi Adriana, mengatakan pasca pandemi Covid-19 melanda, peluang usaha mengalami insolvency atau ketidakmampuan membayar hutang meningkat.

"Bila dibandingkan dari tahun 2019 ke 2021, terdapat peningkatan rasio klaim hampir dua kali lipat mencapai rata-rata sebesar 45 persen secara global. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor tingginya risiko gagal bayar di berbagai negara, termasuk Indonesia,” kata Salomi, Jumat (31/3/2023).

Dia menjelaskan, risiko pembayaran dapat terjadi karena faktor ketidaksengajaan, seperti risiko komersial akibat permasalahan cash flow dan risiko politik yang diakibatkan perang ataupun perubahan kebijakan pemerintah setempat.

Namun tak jarang, gagal bayar terjadi karena kesengajaan oleh pembeli yang ingin menghindari kewajiban membayar.

Lantas bagaimana cara eksportir mencegah terjadinya gagal bayar? Berikut 4 tips mencegah permasalahan gagal bayar dari pembeli :

1. Kejelasan Dokumen

"Eksportir wajib memiliki kontrak penjualan yang mencakup informasi transaksi, spesifikasi produk, serta hak dan kewajiban eksportir dan pembeli. Rincian dari kontrak penjualan adalah safety net legal bagi para eksportir dan dapat menjadi referensi utama apabila terjadi permasalahan dalam transaksi," ujar Salomi.

Dia menyarankan agar semakin aman, eksportir juga perlu memastikan kelengkapan dokumen pendukung ekspor lainnya seperti purchase order, invoice, bill of lading dan packing list. Dengan catatan, sisi eksportir juga wajib untuk berkomitmen mengirimkan barang yang sesuai dengan perjanjian.

4 dari 5 halaman

2. Pemilihan Skema Pembayaran

Dianjurkan menggunakan sistem pembayaran yang lebih aman seperti cash before shipment, document against payment, document against acceptance, serta letter of credit.

"Pemilihan skema pembayaran menjadi taktik cermat, karena pendekatan ini dapat membatasi potensi kecurangan calon pembeli,” jelasnya.

Cash before shipment berarti pembeli membayar sebelum barang dikirimkan, document against payment berarti pembeli mendapatkan dokumen ekspor setelah membayarkan langsung melalui perantara bank, document against acceptance berarti pembeli mendapatkan dokumen ekspor setelah membayar sesuai tempo melalui perantara bank, serta letter of credit dimana pembeli dapat langsung menerima dokumen karena pembayaran akan dilakukan oleh bank pembeli.

3. Profiling Buyer

Dalam beberapa kasus, skema pembayaran dimana pembeli membayar setelah menerima barang (open account) tidak dapat dihindari. Bilamenghadapi situasi ini, eksportir wajib melakukan profiling buyer alias identifikasi calon pembeli.

Kegiatan ini mencakup penggalian terhadap profil dasar, pengalaman dengan eksportir lain, serta kondisi keuangannya.

Profiling buyer tak selalu dilakukan secara mandiri. Para eksportir dapat meminta bantuan perusahaan maupun lembaga asuransi termasuk LPEI untuk mengidentifikasi pembeli tersebut, Profil inilah yang kemudian dapat menjadi dasar keputusan untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya.

 

5 dari 5 halaman

4. Gunakan Asuransi Ekspor

Asuransi ekspor merupakan pilihan bagi eksportir yang menginginkan keamanan yang lebih pasti. Terlebih, bagi pengguna skema pembayaran open account yang memiliki resiko lebih tinggi. Sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan RI, LPEI memberikan layanan asuransi kepada para pelaku usaha sebagai wujud nyata mendorong ekspor di tingkat nasional.

Salah satunya, eksportir dapat memanfaatkan layanan Trade Credit Insurance, perlindungan serta jaminan ganti rugi atas kegagalan pembayaran yang terjadi akibat risiko komersial dan risiko politik.

"Dengan prinsip berbagi risiko, asuransi Trade Credit Insurance oleh LPEI dapat memberikan ganti rugi ketika pembeli tidak membayar setelah lewat 120 hari jatuh tempo dengan besaran hingga 90 persen dari total nilai kerugian. Asuransi ini hadir sebagai bentuk dukungan LPEI bagi pelaku usaha agar lebih berani dan percaya diri melakukan ekspor. Kini, para pelaku usaha dapat lebih tenang dalam menghadapi risiko pembayaran saat menerbangkan produk-produk buatannya ke etalase dunia," pungkasnya.