Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan mencatat utang Pemerintah sampai Maret 2023 mencapai Rp7.879,7 triliun. Angka utang tersebut naik jika dibandingkan Februari 2023 yang sebesar Rp 7.861,68 triliun.
Sedangkan secara rasio, total utang pemerintah tersebut telah mencapai 39,17 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga
“Sampai dengan akhir Maret 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp7.879,07 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,17 persen,” dikutip dari Buku APBN KiTA Edisi April 2023, Jakarta, Jumat (28/4).
Advertisement
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara batas maksimum rasio utang terhadap PDB yakni 60 persen PDB. Sehingga utang pemerintah berada di dalam batas aman dan terkendali.
“Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” tulis laporan tersebut.
Komposisi Utang Pemerintah
Komposisi utang pemerintah terbagi menjadi Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman. Mayoritas dalam bentuk SBN yang nilainya mencapai Rp7.013,58 triliun.
SBN yang diterbitkan pemerintah didominasi utang domestik yang nilainya mencapai Rp5.658,77 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp4.600,97 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1.057,8 triliun.
Sedangkan utang dalam bentuk valas totalnya Rp1.354,81 triliun. Terdiri dari SUN sebesar Rp1.056,4 triliun dan SBSN sebesar Rp298,42 triliun.
Sementara itu, utang pemerintah dalam bentuk pinjaman mencapai Rp865,48 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp21,31 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp844,17 triliun.
Pembiayaan Utang
Masih dalam laporan yang sama, kebijakan umum pembiayaan utang dilakukan demi mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap. Komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik yaitu 72,09 persen.
Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif. Per akhir Maret 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia terbilang cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.
Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap USD turut berkontribusi menurunkan jumlah nilai utang pemerintah yang beredar per akhir Maret 2023. Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 89,02 persen.
Advertisement
Utang Luar Negeri Indonesia Turun Jadi Rp 5.869 Triliun
Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mengalami penurunan di akhir Februari 2023 dengan USD 400,1 miliar atau setara Rp 5.841 triliun (kurs Rp 14.600). Sebelumnya, di Januari 2023 Utang Luar Negeri Indonesia tercatat sebesar USD 404,6 miliar atau setara Rp 5.907 triliun.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menuturkan perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan Utang Luar Negeri sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN Februari 2023 mengalami kontraksi sebesar 3,7 persen (yoy), lebih dalam daripada kontraksi 2,0 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, Posisi ULN pemerintah pada Februari 2023 tercatat USD 192,3 miliar atau setara Rp 2.807 triliun. Ini lebih rendah dibandingkan posisi bulan sebelumnya sebesar USD 194,3 miliar atau setara Rp 2.836 triliun. Secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi pertumbuhan yang lebih dalam, dari 2,5 persen (yoy) pada Januari 2023 menjadi 4,4 persen (yoy) pada Februari 2023.
Dana Investor Nonresiden
Perkembangan tersebut didorong oleh pergeseran penempatan dana investor nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring dengan volatilitas pasar keuangan global yang masih tinggi.
"Pemerintah tetap berkomitmen menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel," ujar Erwin.
Menurutnya, penggunaan ULN sendiri diaragkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktid dan belaja prioritas, mengingat kedudukannya dalam APBN. Misalnya, dalam rangka menopang dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global.
Dukungan tersebut mencakup, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,0 persen dari total ULN pemerintah), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8 persen), jasa pendidikan (16,7 persen), konstruksi (14,2 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (10,4 persen). "Posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," tegasnya.
Advertisement