Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) dan Bank of Korea menyepakati kerjasama untuk mendorong penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan.
Kesepakatan tersebut dituangkan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Gubernur Bank of Korea, RHEE, Chang Yong pada Selasa (2/5/2023).
Baca Juga
Adapun kesepakatan tersebut terjadi di sela-sela Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 di Korea Selatan.
Advertisement
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menilai, kesepakatan antara Bank Indonesia dengan Korea Selatan ini akan mendorong penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan.
Seperti, transaksi berjalan (current account transaction), investasi langsung, serta transaksi ekonomi dan keuangan lainnya yang akan disepakati kedua otoritas.
"Kolaborasi tersebut menandai capaian penting dalam memperkuat kerjasama keuangan bilateral antara Bank Indonesia and Bank of Korea," ujar Erwin.
Selain itu, ia menambahkan, pelaku usaha dapat memanfaatkan kerjasama ini untuk mengurangi biaya transaksi dan eksposur terhadap risiko nilai tukar dalam melakukan transaksi bilateral kedua negara. Antara lain, melalui penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung antara mata uang Korean Won dan Rupiah dalam perdagangan antarbank.
Selanjutnya, Erwin mengatakan, kerjasama ini akan terus diperkuat melalui sharing informasi dan diskusi secara berkala antara otoritas Indonesia dan Korea Selatan.
"Otoritas kedua negara memandang bahwa penggunaan mata uang lokal masing-masing negara yang lebih luas untuk transaksi bilateral pada akhirnya akan berkontribusi dalam mempromosikan perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan, serta memperdalam pasar keuangan dalam mata uang lokal di kedua negara," tuturnya.
Mengenal Dedolarisasi dan Pengaruhnya Bagi Ekonomi Indonesia
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, menilai bahwa dedolarisasi menjadi fenomena yang menarik ketika Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan pandangan senada.
Gubernur Bank Indonesia menyebutkan, Indonesia sudah menggagas diversifikasi penggunaan mata uang, misalnya dalam mekanisme local currency transaction (LCT).
Seirama dengan Menteri Keuangan yang menyampaikan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS, maka semakin ditingkatkan pola local currency settlement (LCS) dengan negara-negara mitra dagang.
"Pola kebijakan dan kesepakatan ekonomi ini menjadi potret dedolarisasi," kata Ajib, Senin (24/4/2023).
Ajib menjelaskan, dedolarisasi adalah proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan untuk perdagangan dan atau komoditas lainnya.
Menurutnya, hal ini menjadi bagian dari kebijakan pemerintah yang akan mendongkrak nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS. Dimana, paling tidak ada 6 (enam) hal yang akan mempengaruhi penguatan nilai tukar, yaitu: inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, ekspektasi, dan kebijakan pemerintah.
Selanjutnya, yang perlu menjadi bahan perhatian adalah proyeksi ekonomi tahun 2023 yang sudah dirancang dalam Kerangka Ekonomi Makro (KEM), dimana kisaran nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp.14.300,- sampai dengan Rp.14.800,-.
Posisi kurs dolar AS sekarang kisaran Rp.14.800,- dengan nilai yang fluktuatif, bahkan sebelumnya nilai kurs nya stabil di atas Rp.15.000,-.
"Kondisi kurs inilah, yang menurut Menteri Keuangan menjadi salah satu faktor fluktuasi utang negara. Dimana posisi utang negara per Desember 2022 sudah mencapai angka Rp 7.733,99 triliun," ujarnya.
Dengan demikian, stabilitas nilai tukar rupiah dalam rentang Kerangka Ekonomi Makro, menjadi satu hal penting untuk turut menjaga kesehatan fiskal Indonesia.
Advertisement
Dari BRICS hingga ASEAN
Di samping itu, gerakan dan kebijakan dedolarisasi ini juga menjadi fenomena global yang diambil oleh negara-negara maju yang mempunyai orientasi ekonomi yang sama.
Misalnya kelompok negara BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam bertransaksi antar negara. China dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai USD 17,5 miliar bisa menjadi motor lokomotif ekonomi dunia.
Ditambah dengan Rusia yang bisa membuat konstraksi ekonomi global, tentunya akan memberikan dampak yang signifikan dalam konteks politik dan ekonomi. India juga mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa, karena mempunyai demand, dalam jumlah penduduk, nomor besar kedua di dunia, dengan lebih dari 1,4 miliar populasi.
Adapun dalam konteks regional, Indonesia bisa menjadi lokomotif gerakan dedolarisasi melalui Keketuaan ASEAN. Posisi strategis yang diemban oleh Indonesia menjadi kesempatan untuk membuat kesepakatan regional yang bisa memberikan keuntungan ekonomi untuk seluruh negara anggota ASEAN.
Dalam KTT Asean pada tanggal 9-11 Mei 2023 di Nusa Tenggara Timur (NTT) nanti, kebijakan-kebijakan strategis tentang dedolarisasi perlu dibahas secara terstruktur.
Dampak Positif ke Indonesia
Kebijakan-kebijakan dedolarisasi yang bisa dibangun dengan negara-negara hubungan dagang, paling tidak akan memberikan tiga dampak positif terhadap ekonomi Indonesia.
Pertama adalah efisiensi. Ketika terjadi transaksi dagang antar 2 (dua) negara, maka transaksi bisa langsung menggunakan mata uang bersangkutan.
Kedua adalah relatif terhindarnya dari ancaman global finacial crisis, karena banyaknya diversifikasi mata uang yang dilakukan dalam transaksi internasional. Ketiga, adalah keuntungan dalam neraca pembayaran dan kesehatan fiskal Indonesia, ketika dolar AS menjadi lebih ter depresiasi dan stabil.
Advertisement