Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Anggota DPR dari Partai Republik mungkin hanya memiliki waktu sebulan untuk mencegah AS gagal bayar utang. Potensi gagal bayar utang ini diprediksi berdampak terhadap jutaan masyarakat AS, dan menimbulkkan kekecauan ekonomi dan fiskal di AS serta dunia.
Pada Senin, 1 Mei 2023, Menteri Keuangan AS Janet Yellen memperingatkan pemerintah AS mungkin tidak dapat membayar tagihannya secara penuh dan tepat waktu paling cepat 1 Juni 2023. Namun, perkiraan tidak pasti. Ia menuturkan, kalau tanggal gagal bayar mungkin akan datang beberapa minggu ke depan.
Baca Juga
AS mencapai batas utang USD 31,4 triliun pada Januari, dan Departemen Keuangan telah memakai dana tunai dan “tindakan luar biasa” untuk memenuhi kewajiban sejak saat itu.
Advertisement
Lalu bagaimana dampak kegagalan bayar utang AS terhadap sektor bisnis di Indonesia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, selain pasar saham, potensi gagal bayar utang Amerika Serikat berdampak cukup signifikan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pertama, suku bunga jadi lebih mahal karena AS akan menaikkan suku bunga untuk jaga agar investor tetap membeli US treasury bill.
"Dan ini artinya bunga pinjaman makin menghimpit pelaku usaha dan konsumen di Indonesia,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, Sabtu (6/5/2023).
Sektor Bisnis yang Terdampak Potensi Gagal Bayar Utang AS
Kedua, ada aliran dana yang keluar dari Indonesia mencari aset yang aman karena investor menilai aset sekelas utang AS saja bisa gagal bayar, apalagi aset berisiko tinggi. “Keluarnya modalnya asing akan melemahkan kurs rupiah,” tutur dia.
Bhima menambahkan, faktor ketiga, dari kinerja ekspor akan terpengaruh. Hal ini mengingat AS memegang porsi yang penting sebagai mitra dagang tradisional. “Produk seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi dan bahan baku tujuan AS bisa melemah kinerjanya,” ujar dia.
Sektor bisnis yang berpotensi terkena dampak gagal bayar utang Amerika Serikat, menurut Bhina, yakni sektor keuangan, perbankan, industri berorientasi ekspor mulai tekstil pakaian jadi, alas kami, furnitur, kimia dan barang tambang serta crude palm oil (CPO).
Bhima mengatakan, sektor bisnis tersebut terdampak potensi gagal bayar utang AS imbas permintaan domestik AS melemah dan likuiditas global mengetat.
Advertisement
Janet Yellen: Utang AS di Ambang Batas Bahaya, Capai Rp 474,7 Kuadriliun
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengenai risiko jika pagu utang negaranya tidak segera dinaikkan oleh Kongres.
Seperti diketahui, utang AS telah mencapai ambang batanya sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp. 474,7 kuadriliun (asumsi kurs Rp. 15.700 per dolar AS) pada 19 Januari 2023.
Melansir Channel News Asia, Jumat (28/4/2023) Yellen memperingatkan bahwa jika Kongres tidak menaikkan pagu utang pemerintah, dan dampak yang dihasilkan dapat memicu "malapetaka ekonomi" yang akan membuat suku bunga lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
Yellen menjelaskan, default utang AS akan mengakibatkan hilangnya pekerjaan, mendorong lonjakan biaya hipotek, pinjaman mobil, dan hingga kartu kredit .
"Merupakan tanggung jawab dasar Kongres untuk meningkatkan atau menangguhkan batas pinjaman USD 31,4 triliun," jelasnya, memperingatkan bahwa default akan mengancam kemajuan ekonomi yang telah dibuat Amerika Serikat sejak pandemi COVID-19.
"Kegagalan utang kami akan menghasilkan bencana ekonomi dan keuangan," ujar Yellen kepada anggota Sacramento Metropolitan Chamber of Commerce.
"Gagal bayar akan menaikkan biaya pinjaman selamanya. Investasi masa depan akan menjadi jauh lebih mahal," dia menambahkan.
Ancaman Sektor Bisnis
Jika plafon utang tidak dinaikkan, Yellen mengatakan, bisnis di AS akan menghadapi pasar kredit yang memburuk, dan pemerintah kemungkinan tidak akan dapat mengeluarkan pembayaran kepada keluarga militer dan Jaminan Sosial.
"Kongres harus memilih untuk menaikkan atau menangguhkan batas utang. Itu harus dilakukan tanpa syarat. Dan seharusnya tidak menunggu sampai menit terakhir," tandas Janet Yellen.
Tidak seperti kebanyakan negara maju lainnya, AS membatasi jumlah utang. Ketika pemerintah negara itu membelanjakan lebih dari yang dibutuhkan, pembuat undang-undang perlu menaikkan plafon utang secara berkala.
Plafon Utang Tak Naik, AS Terancam Gagal Bayar Utang pada 1 Juni
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen kembali menyuarakan risiko pada ekonomi negaranya jika plafon utang tidak segera dinaikkan, yang telah mencapai ambang batas.
Seperti diketahui, utang AS telah mencapai ambang batasnya sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp. 474,7 kuadriliun (asumsi kurs Rp. 15.700 per dolar AS) pada 19 Januari 2023.
Melansir Channel News Asia, Selasa (2/5/2023) Yellen mengingatkan kemungkinan bahwa AS dapat mengalami gagal bayar utang atau default pada 1 Juni mendatang jika plafon utang tidak dinaikkan.
"Perkiraan terbaik kami adalah bahwa kami tidak akan dapat terus melunasi semua kewajiban pemerintah pada awal Juni, dan berpotensi paling cepat 1 Juni, jika Kongres tidak menaikkan atau menangguhkan batas utang sebelum waktu itu," kata Yellen, dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Ketua DPR AS dari Partai Republik, Kevin McCarthy dan para pimpinan lainnya.
"Mengingat proyeksi saat ini, Kongres harus bertindak sesegera mungkin untuk meningkatkan atau menangguhkan batas utang dengan cara yang memberikan kepastian jangka panjang bahwa pemerintah akan terus melakukan pembayarannya," jelas Menkeu AS.
Sebelumnya, Partai Republik AS mendorong Undang-Undang terkait pembatasan pengeluaran yaitu Limit, Save, Grow Act melalui majelis rendah Kongres untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi dengan Presiden AS Joe Biden.
Tetapi undang-undang tersebut tidak memiliki peluang karena ditentang oleh Demokrat yang mengendalikan Senat dan Gedung Putih.
Sementara itu, Gedung Putih mengatakan pada Senin malam bahwa Presiden AS Joe Biden telah berbicara melalui panggilan telepon dengan McCarthy untuk bertemu dan membahas ancaman default pada 9 Mei mendatang.
Sebuah sumber yang mengetahui negosiasi tersebut mengatakan kepada bahwa Biden dan McCarthy membahas perpanjangan utang nasional dan menghindari gagal bayar.
Sebagai kepala mayoritas suara Partai Republik di DPR AS, McCarthy memiliki kendali utama atas masalah anggaran.
Advertisement