Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan, kegagalan menaikan plafon utang atau batas utang akan menyebabkan “penurunan ekonomi yang tajam” di Amerika Serikat.
Janet Yellen juga kembali memperingatkan kalau Departmen Keuangan mungkin kehabisan langkah untuk membayar kewajiban utang pada Juni 2023.
“Proyeksi kami saat ini adalah pada awal Juni, suatu hari akan tiba ketika kami tidak dapat membayar tagihan kami kecuali Kongres menaikkan plafon utang, dan itu adalah sesuatu yang sangat mendesak Kongkres untuk melakukannya,” ujar Yellen dikutip dari CNBC, Senin, 8 Mei 2023.
Advertisement
Yellen menuturkan, AS telah memakai “langkah luar biasa” untuk hindari gagal bayar. Hal itu bukan sesuatu yang dapat terus dilakukan Departemen Keuangan. Ia menuturkan, Kongres perlu mengambil tindakan untuk hindari “malapetaka ekonomi”. “Disepakati secara luas kekacauan finansial dan ekonomi akan terjadi,” ujar Yellen.
Di tengah isu plafon utang AS tersebut, bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Indonesia?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P.Sasmita menuturkan, debt ceiling atau pagu utang pemerintah AS bukan isu baru. Saat era Presiden AS Barack Obama, isu debt ceiling menyebakan shut down atau penutupan sementara pemerintahan federal karena kesepakatan antara Republik dan Demokrat gagal didapat.
“Hal ini bisa terjadi karena Partai Demokrat tidak lagi menjadi partai dengan kursi mayoritas di House of Representative, sehingga pemerintahan Joe Biden tidak bisa lagi memaksakan kebijakan fiskal ekspansif yang diback up oleh penambahan penerbitan surat utang pemerintah,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Selasa (9/5/2023).
Ia menambahkan, saat era Obama pada 2011, negosiasi antara Partai Republik dan Demokrat menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan fiscal cliff. Kedua pihak sama-sama mengam bil jalan tengah.
“Obama bersedia mengurangi belanja pemerintahan federal untuk menekan utang. Sementara Partai Republik bersedia menerima kebijakan kenaikan pajak untuk kelompok kaya,” tutur dia.
Kebijakan The Fed yang Bayangi Ekonomi RI
Ronny mengatakan, sosok di belakang kesepakatan fiscal cliff adalah Joe Biden yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden AS. Melihat itu, Ronny yakin Joe Biden akan mendapatkan kesepakatan yang serupa.
“Akan ada kesepakatan antara pembatasan utang dan kenaikan pajak,” ujar dia.
Ia menuturkan, kebijakan fiskal ekspansif Joe Biden akan terus berjalan walau ada pengurangan, sehingga inflasi akan menguat lagi.
“Dan untuk mengatasinya, berkemungkinan the Fed masih akan berpeluang menaikkan suku bunga sekali atau dua kali dalam tahun ini,” ujar dia.
Ronny menilai, perdebatan soal batas utang di AS tidak terlalu berpengaruh ke Indonesia. Akan tetapi, kebijakan the Fed ini yang akan pengaruhi Indonesia.
“Kenaikan atau penurunan suku bunga akan berpengaruh terhadap kurs mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. (Hingga akhir 2023-red) rupiah masih di kisaran 14.500-15.000,” ujar dia.
Advertisement
Ekonomi AS Terancam
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memperingatkan kegagalan menaikkan plafon utang AS dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan.
Dikutip dari BBC, Senin (8/5/2023), tanpa kesepakatan untuk meningkatkan apa yang dapat dipinjam oleh pemerintah federal, uang tersebut dapat habis pada awal Juni 2023. Pada saat itu, pemerintah federal Amerika Serikat mungkin tidak dapat membayar upah, kesejahteraan dan pembayaran lainnya.
"Ini tugas Kongres untuk melakukan ini. Jika mereka gagal melakukannya, kita akan mengalami bencana ekonomi dan keuangan yang kita buat sendiri,” ujar dia.
Saat wawancara dengan ABC News, Janet Yellen menuturkan, negoisasi plafon utang tidak boleh dilakukan dengan “senjata” kepada warga AS. Namun, waktu hampir habis untuk kesepakatan.
Pada Selasa, 9 Mei 2023, Presiden AS Joe Biden akan bertemu dengan pemimpin Republik untuk meminta persetujuan peningkatan batas utang USD 31,4 triliun saat ini.
Adapun plafon utang ada jumlah uang yang diizinkan oleh Departemen Keuangan AS untuk dipinjam guna membayar tagihan negara. Kewajiban tersebut termasuk tunjangan jaminan sosial dan perawatan kesehatan, pengembalian pajak, gaji militer dan pembayaran bunga atas utang negara yang belum terbayar.
Kongres biasanya mengikat persetujuan plafon utang yang lebih tinggi dengan ketentuan anggaran dan langkah-langkah pengeluaran. Bulan lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menaikkan batas atas yang saat ini diprediksi sama dengan 120 persen dari pertumbuhan ekonomi AS. Namun, hal itu termasuk dalam RUU pemotongan pengeluaran selama dekade berikutnya.
Presiden AS Joe Biden Ingin Batas Utang Naik Tanpa Syarat
Presiden AS Joe Biden ingin Kongres setuju menaikkan plafon utang, tanpa syarat. Presiden Biden mengatakan tidak akan bernegosiasi dengan kenaikan itu dan akan membahas pemangkasan anggaran setelah masalah itu diselesaikan.
Yellen menuturkan, kegagalan untuk menemukan kesepakatan lintas partai tentang masalah ini dapat akibatkan krisis konstitusional.
Pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan apakah ada ruang dalam konstitusi bagi presiden untuk terus mengeluarkan utang baru tanpa persetujuan kongres. Namun, pekan ini akan berusaha untuk hindari skenario itu.
“Kita seharusnya tidak sampai pada titik di mana kita perlu mempertimbangkan apakah presiden dapat terus menerbitkan surat utang. Ini akan menjadi krisis konstitusional,” ujar dia kepada ABC.
Plafon utang telah dinaikkan, diperpanjang, atau direvisi 78 kali sejak 1960. Pada akhirnya ancaman gagal bayar pemerintah termasuk kewajiban utang selalu berujung pada kompromi. Amerika Serikat tidak pernah gagal bayar, sebuah peristiwa yang menjungkirbalikkan pasar keuangan global dan memiliki dampak ekonomi yang luas.
Kepada Kongres melalui sebuah surat, Yellen menyebutkan menunda resolusi juga memiliki konsekuensi negatif.
“Kami telah belajar dari kebuntuan batas utang masa lalu bahwa menunggu hingga menit terakhir untuk menangguhkan atau menaikkan batas utang dapat menyebabkan kerugian serius bagi kepercayaan bisnis dan konsumen, meningkatkan biaya pinjaman jangka pendek untuk pembayar pajak, dan berdampak negatif terhadap peringkat kredit Amerika Serikat,” tulis dia.
Advertisement