Sukses

Lebih Cepat, Proses Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Kini Cuma 15 Hari

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercepat pengembalian kelebihan pembayaran pajak, melalui kebijakan terkait kemudahan layanan kepada Wajib Pajak (WP) Kebijakan tersebut berlaku mulai 9 Mei 2023.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercepat pengembalian kelebihan pembayaran pajak, melalui kebijakan terkait kemudahan layanan kepada Wajib Pajak (WP) Kebijakan tersebut berlaku mulai 9 Mei 2023.

Kemudahan dimaksud terkait penyederhanaan proses restitusi pajak dengan jangka waktu dari semula 12 bulan menjadi 15 hari kerja saja. Kemudahan tersebut diberikan khusus kepada WP Orang Pribadi (OP) yang mengajukan restitusi Pajak Penghasilan OP sesuai Pasal 17B dan 17D Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, mengungkapkan kemudahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 tanggal 9 Mei 2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Sebagai catatan, sebelum berlakunya aturan ini, WP OP yang mengajukan restitusi berdasarkan Pasal 17B UU KUP akan diproses melalui pemeriksaan dengan jangka waktu paling lama 12 bulan.

“Perdirjen tersebut terbit untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan percepatan layanan restitusi yang lebih sederhana, mudah, dan cepat. Proses restitusi yang lebih cepat akan sangat membantu cash flow Wajib Pajak,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, Rabu (10/5/2023).

Lebih lanjut Dwi menjelaskan, proses restitusi tersebut dilakukan secara less intervention dan less face to face antara petugas pajak dan wajib pajak untuk lebih menjamin akuntabilitas dan menghindari penyalahgunaan kewenangan.

 

2 dari 4 halaman

Pengembalian Pendahuluan

Bagi WP yang telah diberikan pengembalian pendahuluan dan jika di kemudian hari dilakukan pemeriksaan lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak, WP dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100 persen.

“Namun demikian, berdasarkan perdirjen ini sanksi administratif tersebut direlaksasi menjadi hanya sebesar sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP di mana sanksi per bulannya didasarkan pada suku bunga acuan ditambah uplift factor 15 persen untuk paling lama 24 bulan,” ujar Dwi.

Namun menurut Dwi, apabila dibandingkan, sanksi tersebut jauh lebih rendah dari pada sanksi kenaikan 100 persen. Perlu diketahui, relaksasi tersebut dilakukan melalui mekanisme pengurangan sanksi sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP.

Terakhir, dalam masa peralihan pengaturan, apabila sampai dengan 31 Mei 2023, terhadap SPT Tahunan lebih bayar yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan pemeriksaan tetapi Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) belum disampaikan, pemeriksaan restitusi dihentikan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan ini. Sedangkan terhadap yang telah disampaikan SPHP, pemeriksaan diteruskan sesuai Pasal 17B UU KUP.

3 dari 4 halaman

Sederet Cara Dongkrak Penerimaan Negara ala Bank Dunia: Cukai Minuman Berpemanis hingga Pajak Karbon

Bank Dunia (World Bank) mendorong pemerintah mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis untuk meningkatkan penerimaan negara. Pengenaan cukai minuman berpemanis juga dinilai penting bagi kesehatan masyarakat.

Selain minuman berpemanis, pemerintah juga perlu untuk meningkatkan nilai cukai terhadap tembakau dan alkohol. Selain itu, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan menghapus pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).

"Penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui pengurangan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) serta cukai atas tembakau, alkohol, dan minuman berpemanis yang akan menciptakan dampak kesehatan yang menguntungkan," tulis laporan Bank Dunia di Jakarta, dikutip Selasa (9/5).

Kemudian, pemerintah juga dapat menerapkan pajak karbon untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pengenaan pajak karbon juga dapat mengurangi pencemaran udara.

"Menghapus subsidi yang terdistorsi, khususnya untuk energi dan pertanian juga dapat menciptakan sumber daya fiskal tambahan," imbuh Bank Dunia.

Sumber daya fiskal dari langkah-langkah tersebut dapat diarahkan untuk membiayai investasi yang berpihak pada masyarakat miskin. Kemudian, penciptaan lapangan pekerjaan untuk mengentaskan kemiskinan. "Selain itu, peningkatan kapasitas administratif pemerintah daerah akan meningkatkan kualitas belanja, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan mengurangi kesenjangan geografis," jelas Bank Dunia.

4 dari 4 halaman

Ditunda, Penarikan Cukai Minuman Berpemanis Diusulkan Kembali di 2024

Pemerintah menunda penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun ini menjadi tahun 2024 mendatang. Alasannya penarikan cukai MBDK ini harus diusulkan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).

"Kebijakan cukai minuman berpemanis sesuai dengan mekanisme UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), rencananya akan kami usulkan dalam KEM-PPKF 2024," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Senin (17/4).

Asko menjelaskan dengan lahirnya UU HPP, pengusulan dan penambahan cukai baru harus dilakukan melalui mekanisme Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga Ditjen Bea Cukai harus mengusulkannya terlebih dahulu dalam KEM-PPKF sebelum dibahas dalam Rancangan APBN.

"Pengusulan dan penambahan cukai baru itu melalui mekanisme undang-undang RAPBN yang nantinya akan diawali dengan penyusunan KEM-PPKF 2024," kata dia.