Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sangat serius dalam menjalankan perdagangan karbon. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam waktu dekat akan mengeluarkan kebijakan terkait bursa karbon. Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah mempersiapkan aturan pajak karbon.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhmad Misbakhun meminta pemerintah membuat roadmap yang matang mengenai bursa karbon. Sejauh ini menurutnya belum ada roadmap mengenai bursa karbon.
Baca Juga
"Tiba-tiba Indonesia bicara carbon tax tanpa punya roadmap karbon itu sendiri, bagaimana mungkin?" ujar Misbakhun, dalam diskusi publik mengenai Bursa Karbon, Jakarta Pusat, Kamis (11/5/2023).
Advertisement
Dia menuturkan, China sebagai negara yang sempat tidak bergabung dalam Paris Agreement, namun meminta waktu sampai 2050 untuk menerapkan carbon tax. Alasannya, karena negara membutuhkan transisi, dari energi yang sudah terpasang menjadi energi terbarukan.
Politikus Golkar itu menekankan, agar pemerintah wajib mengetahui substansi dari bursa karbon. Sehingga, peraturan yang dibuat tidak terkesan "lompar-lompat".
Hal lain yang menjadi kritik Misbakhun jelang perdagangan bursa karbon yaitu penyelenggara, regulator, hingga pengawas, diserahkan kepada Bursa Efek Indonesia. Padahal menurutnya, bursa efek dengan bursa karbon adalah entitas yang berbeda.
Seluruh calon penyelenggara, ucapnya, idealnya memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dalam ekosistem baru bursa karbon. Sehingga menurutnya, penyelenggara bursa efek tidak otomatis bisa menjadi penyelenggara bursa karbon.
"Ini tidak sama dengan pengertian bursa efek," ucapnya.
"Menurut saya harus diingatkan kepada OJK. Bursa efek juga belum punya izin sebagai penyelenggara bursa karbon," sambungnya.
OJK Bakal Terbitkan Aturan Soal Pasar Karbon di Juni 2023
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam waktu dekat akan mengeluarkan kebijakan terkait bursa karbon dalam rangka mengantisipasi risiko perubahan iklim. Sehingga perdagangan karbon bisa mulai diperjualbelikan pada tahun 2023.
"Rencananya kami akan terbitkan POJK bulan depan dan dalam waktu bersamaan dikoneksikan antara registrasi sistem nasional dari karbon dengan yang diperlukan sistem bursa karbon," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dalam konferensi pers KSSK di Kantor LPS, Pasific Central Palace, Kawasan SCBD, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).
Mahendra mengatakan dengan diterbitkannya Peraturan OJK (POJK) bulan depan maka perdagangan karbon sudah bisa dilakukan pada bulan September tahun ini.
Dalam waktu yang bersamaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga tengah melakukan finalisasi berbagai infrastruktur pendukung perdagangan karbon.
"Harapannya pada September sudah ada perdagangan perdana yang rencana awal akan dilakukan antara lain dengan perdagangan launching hasil dari yang sudah diakui dalam bagian dari results payment sebesar 100 juta ton CO2," kata dia.
Di sisi lain, Pemerintah juga melakukan sejumlah persiapan lainnya. Mulai dari perangkat sistem registrasi nasional badan perangkat sertifikasi.
Advertisement
Produk Sertifikasi yang Diotorisasi
Mengingat dalam perdagangan karbon ini, perlu otorisasi dari produk-produk yang diperjualbelikan dalam perdagangan karbon. Sehingga setelah perdagangan karbon dimulai, pemerintah akan menerapkan pajak karbon.
"Ini harus dilakukan sehingga produk sertifikasi yang diotorisasi ini bisa diperdagangkan dalam bursa karbon dan ini akan berlangsung 1-2 bulan ini akan konek," katanya.
Mahendra menegaskan penarikan pajak karbon oleh pemerintah bukan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Melainkan sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
"Terkait dengan kewenangan Kementerian Keuangan dalam berlakukan pajak karbon yang difinalisasi baik insentif dan disinsentif. Buka semata-mata peningkatan pendapatan pajak," pungkasnya.