Sukses

Berpotensi Gagal Bayar Utang, Akankah Keuangan AS Runtuh?

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan, kegagalan menaikan plafon utang (Debt ceiling) atau batas utang akan menyebabkan “penurunan ekonomi yang tajam” di Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan, kegagalan menaikan plafon utang (Debt ceiling) atau batas utang akan menyebabkan “penurunan ekonomi yang tajam” di Amerika Serikat.

Janet Yellen juga kembali memperingatkan kalau Departemen Keuangan Amerika Serikat mungkin kehabisan langkah untuk membayar kewajiban utang pada Juni 2023.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Megawati Institute Dr. Arif Budimanta, menilai saat ini keuangan global terus dihadapkan dengan ketidakpastian. Salah satunya ketidakpastian apakah AS benar-benar berhasil membayar utang atau justru sebaliknya.

"Kita tahu bahwa yang namanya finansial globalis itu dalam konteks currency dalam bentuk US Dollar pada saat ini mengalami satu sinyal elemen yang bersifat uncertainty," kata Arif Budimanta dalam Diskusi Publik Megawati Institute, Kamis (11/5/2023).

Menurutnya, jika berbicara Amerika Serikat tentu berkaitan dengan mata uangnya. Sebab, Amerika Serikat merupakan pemegang otoritas penerbit mata uang global. Namun, saat ini Amerika Serikat sedang diterpa isu tak sedap mengenai mata uangnya.

"Kalau kita bicara dolar kita bicara Amerika Serikat sebagai pemegang otoritas penerbit dari currency mata uang dolar, dan pada saat ini Amerika berdasarkan yang kita ikuti mengalami Apa yang disebut debt discussion antara pemerintah dengan senat," ujarnya.

Lantas Apakah Keuangan Amerika Serikat akan Runtuh?

Arif mengutip dari surat kabar The New York Times, bahwa Presiden Amerika Serikat Joe Biden memastikan negaranya tidak akan mengalami gagal bayar utang.

"Tapi kalau saya baca dalam new York times dua hari yang lalu, itu disebutkan oleh Biden bahwa tidak ada dalam sejarahnya Amerika mengalami default dalam pembayaran utang, itu bukan tradisi bagi pemerintahan Amerika," ujarnya.

Dengan demikian, meskipun saat ini Amerika Serikat dihadapkan dengan isu gagal bayar utang. Arif menilai tidak akan menyebabkan efek terhadap keuangan global, melainkan kondisi keuangan global diprediksi masih akan tetap terjaga.

"Di dalam konteks ini kami melihat walaupun ada sinyal elemen problematika debt ceiling, tapi ini akan menemukan jalan keluar di Amerika Serikat dan tidak akan mengakibatkan efek terhadap problematika finansial di dunia. Intinya stabilitas keuangan ataupun keuangan stabilitas keuangan yang berbasis dollar relatif terjaga yang dengan adanya komitmen dari Presiden Amerika Serikat," pungkasnya.

2 dari 3 halaman

Awas, 3 Dampak Ini Bakal Dirasakan Indonesia Jika AS Gagal Bayar Utang

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mengungkapkan terkait potensi Amerika Serikat gagal bayar utang, dinilai akan berdampak perekonomian Indonesia.

"Tidak hanya pasar saham yang terkoreksi tajam, potensi gagal bayar utang AS punya dampak yang cukup signifikan bagi indikator makro ekonomi negara berkembang seperti Indonesia," kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (10/5/2023).

Bhima pun menyebut ada 3 dampak yang akan dirasakan Indonesia, jika AS gagal bayar utang. Pertama, suku bunga jadi lebih mahal, karena AS akan naikkan suku bunga untuk jaga agar investor tetap membeli US Treasury bill.

"Ini artinya bunga pinjaman semakin menghimpit pelaku usaha dan konsumen di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh dibawah 4 persen dalam situasi gagal bayar utang AS terealisasi," ujarnya.

Kedua, adanya capital flight dari Indonesia mencari aset aset yang aman, karena investor mempersepsikan aset sekelas utang AS saja bisa gagal bayar, apalagi aset berisiko tinggi. Ditambah keluarnya modal asing akan lemahkan kurs rupiah.

"Tidak menutup kemungkinan rupiah melemah hingga Rp 16.500 per dollar," katanya.

Kinerja EksporKetiga, dari kinerja ekspor akan terpengaruh terlebih AS memegang porsi yang penting sebagai mitra dagang tradisional. Produk seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi dan bahan baku industri tujuan AS bisa melemah kinerjanya.

"PHK massal menjadi konsekuensi atas merosotnya kinerja ekspor padat karya," ujarnya.

Disisi lain, situasi risiko utang juga perlu dicermati untuk kondisi Indonesia, dimana porsi utang saat ini 88 persen lebih bentuknya SBN, yang artinya tergantung pada bunga pasar.

3 dari 3 halaman

Inflasi

Kemudian, tren inflasi dan kenaikan suku bunga bisa membuat beban bunga utang naik signifikan, sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit.

"Tahun 2023 saja tren bunga utang mencapai Rp441 triliun atau setara 21,8 persen target penerimaan perpajakan ditahun yang sama. Beban utang ini sudah kelewat berat," ujar Bhima.

Solusinya, Indonesia bisa saja manfaatkan fasilitas debt swap (pertukaran utang dengan program) dan debt suspension (penangguhan bunga utang) meskipun hanya bisa berfungsi dengan kreditur non SBN.

Manajemen risiko fiskal juga menjadi rumit, karena beberapa proyek yang sebelumnya murni pengerjaan BUMN mulai dibebankan ke APBN, baik melalui PMN maupun penjaminan, salah satunya kereta cepat.

"Pemerintah harus cari jalan keluar dengan turunkan ambisi berutang demi mega proyek yang secara ekonomis tidak layak. Selain itu, porsi SBN dari total utang pemerintah sebaiknya dikurangi dengan peningkatan rasio pajak dan pengendalian belanja," pungkasnya. 

Video Terkini