Liputan6.com, Jakarta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Azwar Anas menyebut ada seorang camat yang menerima tunjangan kinerja (tukin) hingga Rp 80 juta per bulan di satu daerah. Namun di daerah lain, seorang camat hanya menerima tunjangan kinerja hanya Rp2 juta per bulan.
“Ada camat tunjangannya Rp2 juta tapi di satu tempat tunjangannya Rp80 juta,” kata Anas di Aula Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Rabu (17/5).
Baca Juga
Anas menjelaskan perbedaan tukin ini terjadi karena aturan yang digunakan saat ini. Salah satunya berdasarkan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing wilayah. Jika format tukin ini terus digunakan, dia khawatir pendapatan daerah akan habis untuk gaji.
Advertisement
“Ini kalau enggak diatur bahaya ke depan. Peningkatan PAD di daerah bukan buat bangun jalan rusak tapi untuk pertama peningkatan tunjangan kinerja dan lain-lain,” kata dia.
Anas menjelaskan tukin yang diterima saat ini seperti hak bagi para abdi negara. Padahal penyeragaman pendapatan ini tidak mendorong peningkatan kinerja karena tidak ada pembedanya.
“Karena sekarang dipukul rata, tunjangan kinerja menjadi hak, ya kinerjanya begitu-begitu saja,” kata dia.
Untuk itu, pemerintah akan mengatur ulang rumus pemberian tunjangan kinerja. Agar, pegawai mendapatkan tukin sesuai dengan kinerja.
“Sehingga ke depan kalau kinerja yang tidak bagus tidak mendapatkan tunjangan yang lebih bagus,” kata Anas.
Anas menambahkan saat ini pemerintah sedang melakukan perumusan kembali tukin para ASN. Nantinya, aturan tentang tukin ini akan diterbitkan dalam bentuk peraturan pemerintah.
“Ini rumusnya kita rumuskan terus, kita duduk siang malam soal ini, tentang tunjangan dan kenaikan,” pungkasnya.
Satu per Satu Pejabat Kemenkeu Kena Tangkap KPK, Tanda Tukin Masih Kurang?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara perlahan terus melucuti pejabat di lingkup Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tersandung kasus dugaan gratifikasi. Terakhir, Kepala Kantor Bea Cukai Makassar ditemukan memiliki rumah mewah di kawasan Cibubur, Jakarta Timur yang tidak terdaftar di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN).
Rentetan kasus ini membuat publik bertanya-tanya. Pasalnya, Kementerian Keuangan merupakan instansi dengan nilai tunjangan kinerja (tukin) tertinggi di luar gaji pokok.
Lantas, apakah bonus tukin tersebut belum cukup bagi sebagian oknum untuk bisa bergaya hidup hedon bak sultan?
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan pemberian remunerasi kepada aparatur sipil negara (ASN) atau PNS memang perlu dievaluasi. Sebab, itu terpantau belum efektif meminimalisir aksi korupsi dan sejenisnya.
"Memang nganu, menurut saya sih soal remunerasi ini harus dievaluasi. Jadi enggak ada gunanya dia sebagai kementerian sultan yang selama ini dapat besar, tapi juga masih begitu," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Rabu (17/5/2023).
Bila benar-benar mau berbenah, ia menyarankan Kemenkeu atau instansi lainnya untuk berkolaborasi dengan aparat penegak hukum.
"Artinya tunjangan kinerja besar itu tidak menjamin bahwa mereka akhirnya tidak berperilaku koruptif. Jadi yang penting menurut saya adalah penegakan hukum. Jadi aturannya ditegakkan, ya mereka (oknum yang terlibat) dikasih sanksi," imbuhnya.
Advertisement
Kerakusan Aparat
Jika masih belum berhasil mereduksi kerakusan aparat, Trubus usul agar besaran tunjangan kinerja PNS di berbagai instansi disamaratakan saja.
"Ini harus dievaluasi. Maksudnya diperbaiki, dibenahi lagi, kalau perlu yang dicabut aja (tukin gede). Semua ASN kan sama, enggak perlu merasa paling berjasa terhadap negeri ini. Ujung-ujungnya kan mereka tetap korupsi," ungkapnya.
Adapun seperti diketahui, Kementerian Keuangan jadi instansi dengan nilai tunjangan terbesar. Khususnya PNS di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terlebih kalau penerimaan negara dari perpajakan tembus target.
Aturan soal tunjangan kinerja DJP tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 37 tahun 2015. Nilai tukin terendahnya ditetapkan sebesar Rp 5.361.800 untuk level jabatan pelaksana, dan tertinggi mencapai Rp 117.375.000 untuk level eselon I atau Direktur Jenderal Pajak.