Sukses

Minuman Berpemanis Jadi Barang Berbahaya, Bakal Kena Tarif Cukai di 2024

Minuman berpemanis dalam kemasan rencananya bakal dikenakan tarif cukai pada 2024 mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Minuman berpemanis dalam kemasan rencananya bakal dikenakan tarif cukai pada 2024 mendatang. Hal ini disebut akan menjadi diskusi lanjutan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan DPR RI.

Sri Mulyani mengatakan terkait penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan akan dimulai 2024 mendatang. Maka, diperlukan pembahasan sejalan dengan Rancangan APBN 2024 yang tengah disusun saat ini.

"Untuk penerapannya kita akan diskusikan dengan DPR dalam kerangka RAPBN 2024 yang sedang kita susun," ujar dia dalam konferensi pers, ditulis Minggu (21/5/2023).

Dia mengatakan, pembahasan dengan DPR tak sebatas pada cukai minuman berpemanis. Tapi juga menyial cukai rokok hingga cukai plastik.

Menurutnya, bahasan lanjutan mengenai pengenaan tarif cukai pada barang-barang yang dianggap berbahaya. Pada konteks minuman berpemanis, adanya cukai diharapkan mampu mengendalikan konsumsi di masyarakat, akhirnya mampu menekan risiko dari minuman tersebut.

"Beberapa kali sudah dilakukan juga dengan DPR, mengenai satu, di satu sisi kita akan melihat bahwa cukai menjadi satu alat mengendalikan konsumsi untuk barang-barang yang dianggap berbahaya, seperti rokok, kemudian pemanis dan plastik," jelasnya.

Penundaan

Sebelumnya, Pemerintah menunda penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun ini menjadi tahun 2024 mendatang. Alasannya penarikan cukai minuman berpemanis ini harus diusulkan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).

"Kebijakan cukai minuman berpemanis sesuai dengan mekanisme UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), rencananya akan kami usulkan dalam KEM-PPKF 2024," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Senin (17/4/2023).

 

2 dari 4 halaman

Pengusulan

Asko menjelaskan dengan lahirnya UU HPP, pengusulan dan penambahan cukai baru harus dilakukan melalui mekanisme Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga Ditjen Bea Cukai harus mengusulkannya terlebih dahulu dalam KEM-PPKF sebelum dibahas dalam Rancangan APBN.

"Pengusulan dan penambahan cukai baru itu melalui mekanisme undang-undang RAPBN yang nantinya akan diawali dengan penyusunan KEM-PPKF 2024," kata dia.

Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid mengatakan penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan risiko obesitas hingga diabetes.

"Kita (Kemenkes) juga mengusulkan, dalam memperkuat regulasi adalah, pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Jadi sebagai salah satu pengendalian penyakit tidak menular dalam bidang fiskal, kita mengusulkan kepada Menteri Keuangan supaya ada penerapan cukai," kata Nadia beberapa waktu lalu dilansir dari Antara.

 

3 dari 4 halaman

Usulan Bank Dunia

Bank Dunia (World Bank) mendorong pemerintah mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis untuk meningkatkan penerimaan negara. Pengenaan cukai minuman berpemanis juga dinilai penting bagi kesehatan masyarakat.

Selain minuman berpemanis, pemerintah juga perlu untuk meningkatkan nilai cukai terhadap tembakau dan alkohol. Selain itu, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan menghapus pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).

"Penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui pengurangan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) serta cukai atas tembakau, alkohol, dan minuman berpemanis yang akan menciptakan dampak kesehatan yang menguntungkan," tulis laporan Bank Dunia di Jakarta, dikutip Selasa (9/5).

 

4 dari 4 halaman

Pajak Karbon

Kemudian, pemerintah juga dapat menerapkan pajak karbon untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pengenaan pajak karbon juga dapat mengurangi pencemaran udara.

"Menghapus subsidi yang terdistorsi, khususnya untuk energi dan pertanian juga dapat menciptakan sumber daya fiskal tambahan," imbuh Bank Dunia.

Sumber daya fiskal dari langkah-langkah tersebut dapat diarahkan untuk membiayai investasi yang berpihak pada masyarakat miskin. Kemudian, penciptaan lapangan pekerjaan untuk mengentaskan kemiskinan. "Selain itu, peningkatan kapasitas administratif pemerintah daerah akan meningkatkan kualitas belanja, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan mengurangi kesenjangan geografis," jelas Bank Dunia.