Liputan6.com, Jakarta Harga emas bangkit kembali dari kerugian awal pada hari Selasa, karena dolar melemah dan imbal hasil Treasury turun. Penurunan harga emas dunia ini karena optimisme pasar yang lebih luas tentang kesepakatan plafon utang AS.
Dikutip dari CNBC, Rabu (31/5/2023), harga emas di pasar spot naik 0,8 persen menjadi USD 1.958,59, setelah mencapai level terendah sejak 17 Maret sebelumnya. Harga emas berjangka AS bertambah 0,7 persen pada USD 1.958.
Baca Juga
Dolar AS melemah dari level tertinggi 10 minggu, membuat emas batangan lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Sementara imbal hasil Treasury 10 tahun mencapai level terendah satu minggu.
Advertisement
Prediksi Harga Emas
Bersamaan dengan elemen-elemen positif ini, "Anda juga dapat melihat beberapa fund manager mengatur posisi pada akhir bulan, mengambil keuntungan dari posisi pendek mereka dan membeli kembali", kata Jim Wyckoff, analis senior di Kitco Metals.
"Dalam waktu dekat, harga emas akan diperdagangkan sideways menjadi lebih rendah sampai kita melihat katalis baru," tambahnya.
Kembali dari akhir pekan panjang AS, para pedagang juga menilai kejutan data ekonomi AS yang kuat pada hari Jumat yang mendukung kasus pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut untuk mengekang inflasi.
Kesepakatan Utang AS
Sementara kekhawatiran sebelumnya pada kesepakatan utang AS telah mendukung harga, repricing jalur kenaikan suku bunga Federal Reserve membuat emas tetap tertekan, kata kepala strategi komoditas Saxo Bank Ole Hansen.
Emas tanpa hasil cenderung kehilangan daya tarik di lingkungan suku bunga tinggi.
Pedagang sekarang melihat Fed lebih mungkin untuk menaikkan suku bunga bulan depan daripada membiarkannya tidak berubah, dengan kesepakatan utang terlihat mengurangi beberapa risiko ekonomi yang bisa membuat bank sentral di sela-sela.
Kesepakatan itu menghadapi ujian pertamanya di Kongres, dengan Presiden dari Partai Demokrat Joe Biden dan anggota Kongres dari Partai Republik Kevin McCarthy mengharapkan cukup suara untuk mengesahkannya menjadi undang-undang.
Advertisement
Kondisi Utang AS Sebelum dan Setelah Pandemi Dibongkar Sri Mulyani, Ternyata Begini
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hampir semua negara mengalami defisit ketika mengalami pandemi Covid-19. Tak terkecuali Pemerintah Amerika Serikat yang pada tahun 2020 defisit fiskalnya mencapai -14 persen dari sebelumnya di tahun 2018 defisit -6,4 persen.
“Amerika Serikat dengan kemampuan mereka mencetak utang dalam jumlah besar dan pembelinya seluruh dunia ini mereka bisa mencapai defisit minus 14 persen,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Selasa (30/5).
Sejak tahun 2018, rasio utang Pemerintah AS juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 2018. Kala itu, rasio utang AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 107,4 persen.
Saat terjadi pandemi tahun 2020, rasio utang Pemerintah AS meningkat menjadi 133,5 persen terhadap PDB. Kemudian di tahun 2022, rasio utang AS melandai menjadi 121,7 persen terhadap PDB.
Defisit Fiskal AS
Defisit fiskal AS di tahun 2022 juga mengalami penurunan menjadi -5,5 persen. Sayangnya dalam kondisi tersebut, Pemerintah AS hampir mengalami gagal bayar utang.
“Amerika saat ini menghadapi defisit minus 5,5 dan tapi Pak Ketua (Banggar, Said Abdullah) sampaikan mereka mengalami kondisi politik, apakah cap atau batas atas dari jumlah utang bisa dinaikkan,” kata Sri Mulyani.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dalam kondisi serupa di tahun 2011 Amerika Serikat memutuskan menaikkan plafon utang. Sementara saat ini keputusan yang diambil menangguhkan pembayaran utang sampai 1 Januari 2025 mendatang.
Akibatnya kata Sri Mulyani, kalau batas batas utang AS tidak dinaikkan, Negara Paman Sam itu diperkirakan akan kembali melakukan konsolidasi yang lebih agresif. "Kalau tidak mereka harus melakukan konsolidasi yang agresif," katanya.
Advertisement