Sukses

Ekspor Pasir Laut Ancam Ekonomi Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai aturan baru terkait pengelolaan hasil sedimentasi di laut upaya komersialisasi laut. Selain itu, penambangan pasir laut berpeluang dongkrak abrasi pesisir pantai.

Liputan6.com, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan penambangan pasir laut berpotensi meningkatkan pencemaran pantai yang juga akan berdampak terhadap ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir.

Ketua DPP KNTI Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan Misbachul Munir menuturkan, penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, dan menurunkan kualitas air luat dengan meningkatnya kekeruhan air laut.

Selain itu, penambangan pasir laut juga dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove dan menganggu lahan pertambakan, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.

"Kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir,” ujar Misbachul dikutip dari Antara, Rabu (31/5/2023).

Ia menambahkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir itu antara lain menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin tinggi, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut. “Hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu,” tutur dia.

Selain itu, KNTI juga melihat aturan baru terkait pengelolaan hasil sedimentasi di laut yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut merupakan upaya komersialisasi laut.

“Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi,” ujar Ketua Umum KNTI Dani Setiawan.

2 dari 3 halaman

PP Terbaru Dinilai Lebih Buruk

Dani menuturkan, beleid itu menegaskan kalau pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat, terutama di wilayah laut dan pesisir. Hal ini sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi tanggung jawab sektor swasta dan pelaku usaha.

Ia menambahkan, peraturan itu juga dinilai lebih buruk dari Keputusan Presiden RI Nomor 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat oleh Presiden Kelima Indonesia Megawati Soekarno Puteri untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan pasir laut bagi lingkungan, nelayan dan pembudidaya ikan.

Selain itu, PP Nomor 26/2023 juga merupakan langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut dengan kembali izin usaha bagi penambangan pasir laut untuk tujuan komersial dan bahkan untuk ekspor.

 

3 dari 3 halaman

Berpotensi Rugikan Negara

Rezim pengaturan hukum itu dinilai sengaja dimaksudkan untuk merevisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, aturan yang dikeluarkan delapan bulan setelah Keppres Nomor 33/2002.

“Di masa lalu, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan, namun juga telah merugikan negara jutaan dolar akibat ekspor ilegal pasir laut. Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali dan merusak lingkungan laut dan pesisir, mengancam kehidupan nelayan dan menguntungkan negara lain,” ujar dia.

KNTI juga menyayangkan PP ini sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya yang berpotensi terkena dampak dari aktivitas pemanfaatan pasir laut, baik dalam konsideran dan pasal-pasal di dalamnya.

“Nelayan dan pembudidaya merupakan kota kata yang asing dan tidak dikenal dalam peraturan yang justru sangat dekat dengan kedua aktor ini,” ujar Dani.