Sukses

Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Fakta Utang Pemerintah Rp 7.849 Triliun, Mayoritas dalam Rupiah

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa sebagian besar utang Indonesia saat ini masih dalam mata uang Rupiah, dan berasal dari penerbitan SBN.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali memberikan penjelasan terkait besaran utang pemerintah yang disebut-sebut mencapai Rp 7.000 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa sebagian besar utang Indonesia saat ini masih dalam mata uang Rupiah, dan berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN).

"Sebagian besar utang Indonesia dalam mata uang Rupiah. 73 persen utang Indonesia berasal dari SBN domestik. Tentu hal ini baik untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah,"tulis Yustinus dalam unggahan di akun Twitter pribadinya @prastow, dikutip Senin (5/6/2023).

Yustinus menunjukkan besarannya, dimana utang pemerintah dalam bentuk rupiah per April 2023 tercatat Rp. 5.720,9 triliun atau setara 73 persen total utang. Adapun utang lainnya dalam non rupiah, yang mencapai Rp 2.128,4 triliun dalam bentuk valas atau 27 persen dari total utang.

Stafsus Menkeu melanjutkan, risiko utang Indonesia juga menurun tajam. Hal ini ditandai dengan debt service ratio/DSR dari 2020 sebesar 47,3 persen menjadi 34,4 persen pada 2022 lalu dan menurun lagi pada April 2023 menjadi 28,4 persen.

Sebagai informasi, DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan.

"Interest ratio (rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan) juga menurun, dari 19,3% pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023," jelas Yustinus.

"Penurunan DSR dan IR ini menunjukan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat," sambungnya.

"Rating kita bagus. Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. Lembaga2 pemeringkat kredit seperti Standard & Poor's, Moody’s, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade," tambahnya.

2 dari 3 halaman

Masih di Kategori Rendah

Yustinus menambahkan bahwa, sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp. 5.125,1 masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas (Perlinsos, Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur) sebesar Rp 8.921 Triliun.

Adapun ertumbuhan aset yang nilainya melebihi penambahan utang.

"Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas SDM," paparnya.

Selain itu, Yustinus juga menegaskan bahwa utang BUMN bukanlah beban APBN.

Hal ini Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, segala utang yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan merupakan utang negara. 

 

3 dari 3 halaman

Sebagai Tanggapan

Yustinus mengatakan, paparan tersebut disampakannya sebagai tanggapan atas pemberitaan terkait pernyataan tokoh publik baru baru ini, salah satunya Jusuf Kalla, terkait utang pemerintah yang kian naik.

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 itu menyebut biaya utang pemerintah yang sudah mencapai Rp 1.000 trilliun per tahunnya.

Kita tidak mengeluarkan Rp1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK. Bu Sri Mulyani sudah merespon ini," terang Yustinus.