Sukses

Sri Mulyani Butuh Rp 2,4 Triliun Kelola Penerimaan Negara Rp 2.861 Triliun Tahun Depan

Menteri keuangan Sri Mulyani mengusulkan anggaran Rp 2,48 triliun untuk pengelolaan penerimaan negara tahun 2024 mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Menteri keuangan Sri Mulyani mengusulkan anggaran Rp 2,48 triliun untuk pengelolaan penerimaan negara tahun 2024 mendatang. Anggaran itu diusulkan untuk menarik penerimaan negara sebesar Rp 2.718 triliun sampai Rp 2.861 triliun di tahun depan.

"Untuk program pengelolaan penerimaan negara Tahun Angggaran 2024, kami susulkan buat jadi pagu indikatif Rp2,48 triliun. Ini untuk menjada supaya kita dapat penerima negara Rp2.717 - Rp2.861 triliun tahun 2024," kata Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (12/6/2023).

Mewakili Sri Mulyani, Suahasil menjelaskan anggaran Rp 2,48 triliun ini akan digunakan untuk 4 unit eselon 1 Kementerian Keuangan, antara lain Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai , Direktorat Jenderal Anggaran dan LNSW.

Anggaran tersebut nantinya akan digunakan untuk 133 kegitan. Beberapa diantaranya yakni reformasi perpajakan dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Penggalian Potensi Pajak e-commerce dan ekonomi digital, data base perpajakan dan PNBP, implentasi kepabeanan untuk IKN, pengembangan promosi ekspor produk dan lain-lain.

Tidak untuk Bayar Gaji

Suahasil menjelaskan, anggaran tersebut hanya untuk kegiatan pengelolaan penerimaan negara dan tidak termasuk untuk gaji, biaya operasional seperti gaji rutin. Sehingga untuk kebutuhan di luar kegiatan tersebut dipisahkan.

"Itu nanti dimasukkan dalam dukungan manajemen, nanti akan kelihatan angkanya besar, nanti dukungan manajemen itu nanti juga untuk memberikan dukungan pada program ini," kata Wamenkeu.

 

2 dari 3 halaman

Kebutuhan Anggaran

Suahasil mengatakan membutuhkan anggaran Rp22,76 triliun untuk membayar gaji, kebutuhan internasional dan dukungan penerimaan negara.

"Kalau kita masukan dukungan manajemen yang diperlukan buat program penerimaan negara ini maka angkanya menjadi Rp22,76 triliun ini termasuk bayar gaji, kebutuhan internasional, dukungan penerimaan negara," kata dia.

Agar anggaran tersebut efektif, maka pemerintah telah menetapkan target berupa indikator sasaran program. Fokus utamanya mencapai target penerimaan perpajakan naik ke 9,92 sampai 10,2 persen.

"Kita tetapkan indikator sasaran program, rasio penerimaan perpajakan naik ke 9,92 -10,2 persen dan realisasi penerimaan pajak Rp2.717 triliun -Rp2.861 triliun tahun 2024," tuturnya

3 dari 3 halaman

Surplus APBN Capai Rp 234,7 Triliun di April 2023

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat kinerja APBN per April 2023 masih terjaga positif. Bahkan APBN mengalami surplus Rp 234,7 triliun atau 1,12 persen dari PDB, dan keseimbangan primer APBN juga surplus sebesar Rp 374,3 triliun.

"Jadi, dalam empat bulan pertama dari APBN Kita, kita mengalami surplus baik dikeseimbangan primer maupun total overall balance dari APBN Kita," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers: APBN KITA Mei 2023, Senin (22/5/2023).

Disamping itu, Menkeu mencatat penerimaan negara mencapai Rp 1.000,5 triliun hingga April 2023. Angka tersebut sudah mencapai 40,6 persen dari target APBN.

"Ini artinya 40,6 persen dari APBN sudah dikumpulkan dalam 4 bulan. Kenaikan 17,3 persen dibandingkan tahun lalu," ujarnya.

Sementara, untuk belanja negara telah direalisasikan sebanyak Rp 765,8 triliun atau 25 persen dari total belanja tahun ini.

Disisi lain, Menkeu melihat kinerja Purchasing Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur global berlangsung mengalami kontraksi selama 8 bulan berturut-turut.

Menkeu mencatat, mayoritas 52 negara yang diobservasi semuanya mengalami kontraksi, misalnya Jepang, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Eropa, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Korea Selatan.

"13 persen dari negara yang dilakukan observasi mengalami ekspansi diatas 50 namun melambat seperti Rusia, Singapura, dan Filipina," ujarnya.

Lebih lanjut, kata Menkeu, hanya 34,8 persen dari negara yang diobservasi mengalami ekspansi diatas 50 dan akselerasi naik dibandingkan bulan sebelumnya, dalam kategori ini diantaranya Indonesia, India, Thailand, Turki, Kanada, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Meksiko.

"Dalam hal ini 8 bulan berturut-turut PMI global mengalami kontraksi, 13 persen atau beberapa negara mengalami ekspansi namun melambat, Indonesia termasuk dalam 34 persen yang ekspansi dan akselerasi, ini menggambarkan posisi Indonesia yang resilience terhadap kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dari berbagai negara dan bahkan di Indonesia, dan kita masih bertahan. Ini hal positif yang kita jaga," pungkasnya. 

 

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com