Sukses

Jokowi Minta Pemda Tunduk ke BPKP, Kenapa?

Kepada para pemimpin daerah dan auditor dari BPKP, Presiden Jokowi meminta kalau pengawasan penggunaan anggaran ini tidak sebatas formalitas saja. Tapi bisa jadi acuan dalam menjalankan program.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta rekomendasi dari Badan Pengawasan dan Keuangan (BPKP) diikuti oleh setiap jajaran pemerintahan daerah, mulai tingkat provinsi hingga kota dan kabupaten. Jokowi meminta instansi di daerah tidak abai terhadap berbagai hasil review maupun rekomendasi dari BPKP.

"Karena tangan BPKP itu sampai provinsi, kabupaten, dan kota artinya bisa kawal, awasi dan arahkan. Jadi pemerintah pusat, provinsi atau pemerintah kota dengan BPKP tuh harusnya takut, segan dan takut. Gunakan ini untuk kebaikan negara," ujar dia dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern (Rakornaswasin) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), di Kantor BPKP, Jakarta, Rabu (14/6/2023).

Sebagai contoh, dia menyebut anggaran bagi pengentasan kemiskinan yang hanya dialokasikan 1 persen. Menurutnya ini harus menjadi perhatian lebih dulu. Selanjutnya, diikuti dengan pengawasan yang dilakukan oleh BPKP.

"Contoh lagi kita kan tahu masih banyak kemiskinan, daerah kemiskinannya tinggi, anggaran perlindungan sosialnya kurang 1 persen, mestinya diprioritaskan dulu. Hal-hal begini perlu diawasi betul, diidentifikasi masalahnya, berikan rekomendasi, dampingi, kawal. Agar anggaran kita produktif betul, sekali lagi sekarang ini. Kita bersaing dengan negara lain," jelasnya.

Kepada para pemimpin daerah dan auditor dari BPKP, dia meminta kalau pengawasan penggunaan anggaran ini tidak sebatas formalitas saja. Tapi bisa jadi acuan dalam menjalankan program.

"Penguatan pengawasan internal jangan sampai cuma jadi aksesoris. Saya minta seluruh daerah jangan abaikan rekomendasi yang diberikan BPKP, dan nggak usah lah ada data yg ditutupi kalau memang ini salah, tunjukkan kesalahan cara perbaikannya seperti apa. Saya minta ke seluruh daerah jangan abaikan rekomendasi yang diberikan BPKP." tegasnya.

 

2 dari 4 halaman

Anggaran Masih Bablas

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebut penggunaan anggaran di berbagai lini masih mengalami kebocoran. Padahal penggunaan anggaran sudah diawasi termasuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dia bahkan mengisahkan ikut melakukan pengawasan dengan turun ke bawah. Diketahui, Jokowi kerap blusukan ke pasar-pasar, termasuk memberikan bantuan.

"Kenapa saya juga cek ke lapangan, turun ke bawah, saya pastikan apa yang kita programkan sampai ke masyarakat. Karena kita lemah di sisi itu, jika tidak diawasi, jika tidak dicek langsung, jika tidak dilihat, dipelototi satu-satu. Hati-hati, kita lemah di situ," ujarnya dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern (Rakornaswasin) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), di Kantor BPKP, Jakarta, Rabu (14/6/2023).

"Dipelototi, turun kita ke bawah, itu saja masih ada yang bablas, apalagi tidak?," sambungnya.

 

3 dari 4 halaman

Berpotensi Tak Optimal

Di hadapan pada pegawai BPKP, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), hingga Direksi BUMN, dia menegaskan skema pengawasan perlu berorientasi terhadap hasil. Utamanya untuk optimalisasi penggunaan anggaran dan program pemerintah.

"Saya minta pengawasan itu orientasi bukan prosedur nya, orientasi nya hasil itu apa. Banyak APBN-APBD kita yang berpotensi tidak optimal," tegasnya.

Menanggapi laporan Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh, Jokowi meminta aparat pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran. Termasuk dalam pelaksanaan program-program pemerintah.

"Saya ingatkan baik pusat dan daerah dalam penggunaan yang namanya anggaran, 43 persen (program pemerintah terindikasi tak optimal) bukan angka yang sedikit," tegas Jokowi.

 

4 dari 4 halaman

43 Persen Program Tak Optimal

Pada laporannya, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengungkap ada 43 persen program pemerintah yang berpotensi tidak optimal. Pada saat yang sama, ada 21 persen penggunaan anggaran yang juga dinilai tak optimal.

"Dari aspek efektivitas dan harmonisasi pembangunan di daerah, perencanaan dan penganggaran daerah masih belum optimal. Berdasarkan hasil pengawasan, kami menemukan sebanyak 43 persen program berpotensi tidak optimal mengungkit sasaran pembangunan pada daerah yang diuji petik," urainya.

"Di samping itu, kami juga menemukan adanya potensi pemborosan alokasi belanja daerah sebesar 21 persen dari nilai anggaran yang diuji petik," sambung Ateh.

Video Terkini