Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menilai, situasi ekonomi dunia kini tengah memanas. Sehingga potensi berdampak terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi hingga pengetatan kebijakan moneter, khususnya di negara maju.
"Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (22/6/2023).
Baca Juga
Perry memprediksi, pertumbuhan ekonomi dunia bakal mengalami perlambatan di level 2,7 persen. Terutama di Amerika Serikat hingga 2024, dan juga China.
Advertisement
"Di Amerika Serikat, tekanan inflasi masih tinggi, terutama karena ketetatan pasar tenaga kerja. Di tengah kondisi ekonomi yang masih cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan yang mereda," ungkapnya.
"Sementara di negara berkembang khususnya China, pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat perkiraan di tengah inflasi rendah. Sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter," dia menambahkan.
Sebaliknya, perekonomian negara berkembang lain semisal India justru tetap kuat. Itu berkat didorong permintaan domestik yang besar, termasuk ekspor jasa.
"Perbedaan kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap negara maju, tetapi menguat terhadap mata uang negara berkembang," kata Perry.
Sebagai antisipasi, pemerintah dan Bank Indonesia disebutnya wajib memperkuat kebijakan makronya agar pelemahan ekonomi dunia tidak sampai menimpa Indonesia.
"Perkembangan ini memerlukan penguatan respon kebijakan untuk mitigasi risiko rambatan global terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," pungkasnya.
Ramalan Bank Dunia Menakutkan, Bisakah Ekonomi Global Bertahan?
Bank Dunia kembali merevisi prospek pertumbuhan ekonomi global di 2023 karena Amerika Serikat (AS), China, dan negara ekonomi besar lainnya mampu bertahan dari krisis. Dalam proyeksinya, Bank Dunia meramal prospek ekonomi global di 2023 hanya mampu tumbuh 2,1 persen.
Angka itu menandai kenaikan dari perkiraan 1,7 persen yang dikeluarkan pada bulan Januari, tetapi masih di bawah tingkat pertumbuhan 2022 sebesar 3,1 persen.
“Setelah tumbuh 3,1 persen tahun lalu, ekonomi global akan melambat secara substansial pada tahun 2023, menjadi 2,1 persen,” dikutip dari laporan yang dipublikasikan Bank Dunia, Jakarta, Rabu (7/6).
Tak hanya itu, tingkat inflasi global tahun ini masih akan tinggi. Kondisi ini tidak terlepas dari dampak lanjutan dari kebijakan pengetatan moneter untuk mengendalikan inflasi. Tingkat inflasi baru akan mereda di tahun 2024 di posisi 2,4 persen.
“Tekanan inflasi terus berlanjut meskipun inflasi utama global telah melambat sebagai akibat dari efek dasar,” dikutip dari laporan yang sama.
Redanya tekanan rantai pasokan, dan kondisi keuangan global telah mengetat terjadi karena kebijakan kenaikan suku bunga. Pada tingkat yang lebih rendah juga terjadi serangan ketidakstabilan keuangan baru-baru ini.
Advertisement
Bank Alami Kerugian
Banyak bank mengalami kerugian substansial yang belum direalisasi akibat kenaikan tajam suku bunga kebijakan. Kekhawatiran tentang kelangsungan neraca beberapa bank menyebabkan pelarian deposan dan gejolak pasar di Amerika Serikat dan Eropa di awal tahun.
Hal ini dipicu oleh respons kebijakan yang cepat dan ekstensif. Pasar keuangan tetap sangat sensitif terhadap ekspektasi yang berkembang tentang jalur masa depan suku bunga bank sentral utama.
Kondisi keuangan global yang ketat dan lemahnya permintaan eksternal diperkirakan akan membebani pertumbuhan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang (EMDEs).