Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pelaku usaha kopi nasional menghadiri kegiatan sosialisasi GKP skoring berdasarkan metode CLoPT di sekretariat APRINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) Jakarta bersama Jamil Musanif, penggagas Metode CLoPT (Coffee Lovers Preference Taste). Dalam kegiatan itu, salah satu pelaku usaha yang hadir adalah Kopi Geulis Sumedang
"Alhamdulillah Kopi Geulis Sumedang sebagai binaan Ditjen Perkebunan mendapat skor tertinggi atau GOLD CLASS, pada tanggal 15 Juni lalu dengan Metode CLoPT,” ujar Pimpinan Kopi Geulis Sumedang, Ai Awang.
Baca Juga
Pada ajang lomba cupping yang diadakan Coffee Lovers Indonesia (CLI) pada 2019 di Agro Food Expo JCC dengan metoda CLoPT, Kopi Geulis berhasil mendapat Gold Class dari 26 peserta dengan penilai sebanyak 17 orang juri. Pada 2023 ini dari empat penilai CLoPT kembali melakukan uji Kopi Geulis. Dari hasil uji tersebut, ada tiga orang penilai memberikan penilaian kategori Gold Class, dan satu orang nilai Silver Class.
Advertisement
Founder CLI sekaligus penggagas metode CLoPT, Jamil Munasif mengatakan bahwa GKP skoring ini adalah Versi CASUAL CLoPT. Disebut casual karena yang menguji atau menilai bisa siapa saja tanpa pengetahuan khusus tentang kopi maupun organoleptik. Dia menjelaskan lagi bahwa untuk metode official, penguji memiliki pengetahuan khusus kopi seperti Q grader, barista, dan roaster, dimana ini akan segera di launching oleh founder CLoPT dan beberapa co-founder CLoPT.
Pada kesempatan yang berbeda, Prayudi Syamsuri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan mengatakan, semoga dengan adanya kegiatan ini, kopi Indonesia semakin memiliki kualitas baik, semakin dikenal, diterima konsumen dan diminati serta memperluas akses pasar global untuk ekspor.
“Kementerian Pertanian melalui Ditjen Perkebunan khususnya Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, terus berupaya dan mendorong standarisasi kopi nasional khususnya untuk pasar Eropa karena era perdagangan saat ini rentan sekali hambatan perdagangan yang disebabkan semakin pedulinya negara konsumen pada aspek standarisasi untuk kualitas keamanan pangan. Dan hal ini menciptakan proteksionisme yang tinggi di pasar eropa yang pada hakikatnya bertentangan dengan semangat Free Trade Area seperti yang menjadi regulasi WTO,” kata Prayudi.
(*)