Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan redenominasi rupiah mulai dari desain, tahapan, hingga operasional. Akan tetapi, ada tiga faktor yang menyebabkan pelaksanaan redenominasi belum dilakukan hingga kini.
“Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain,tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers Dewan Gubernur Bulan Juni 2023, Kamis, 22 Juni 2023 dikutip dari Antara, Selasa (27/6/2023).
Baca Juga
Namun, ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan Bank Indonesia untuk menerapkan redenominasi tersebut. Faktor pertama, Perry mengatakan, kondisi makroekonomi. Kini, kondisi makroekonomi Indonesia memang sudah membaik dan pulih, tetapi masih terdapat potensi dampak rambatan (spillover) dari ekonomi global yang masih diliputi ketidakpasstian.
Advertisement
Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi sekitar 2,7 persen pada 2023 dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat dan China.
Di Amerika Serikat, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena pengetatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan yang mereda sehingga mendorong kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Fed) ked pean.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sedangkan di China, pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prediksi di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Pertimbangkan Kondisi Moneter
Faktor kedua, Perry menuturkan, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan. Di Indonesia, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan sudah stabil, tetapi Indonesia masih dibayangi ketidakpastian global.
Faktor ketiga, kondisi sosial dan politik di mana untuk melakukan redenominasi diperlukan kondisi sosial dna politik yang kondusif mendukung, positif serta kuat. “Untuk kondisi sosial dan politik ini pemerintah yang lebih mengetahui,” tutur dia.
Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menuturkan, manfaat redenominasi rupiah lebih kepada kenyamanan dalam bertransaksi dan menciptakan persepsi positif. “Dan meningkatkan confidence terhadap rupiah,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Redenominasi merupakan penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa.
Advertisement
Apa Kabar Redenominasi Rupiah? Ternyata Sudah Diterapkan di Cafe hingga Pedagang Soto
Sebelumnya, wacana redonominasi mata uang Rupiah tak kunjung menemui titik terang. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.
Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang. Misalnya mata uang pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Melansir dari laman djkn.kemenkeu.go.id, redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Secara teknis, uang yang sudah diredenominasi jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Misalnya dalam pecahan uang Rp10.000, maka tiga angka di belakang akan dihilangkan, penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah.
"Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga tersebut berubah Rp10 per kaleng," jelas Kemenkeu dikutip, Selasa (21/3/2023).
Sudah Diterapkan
Jika melihat fenomena di masyarakat saat ini, tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Jika kita berjalan-jalan di mal, restoran, cafe, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam dengan harga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau sekantong popcorn di Bioskop seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
"Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar. Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram," tulis Kemenkeu.
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.
Advertisement