Liputan6.com, Jakarta Redenominasi rupiah menjadikan Rp 1.000 ke Rp 1 tengah direncanakan Bank Indonesia. Bahkan, Bank Indonesia sudah siap dengan skenario dalam peenrapan redenominasi rupiah ini.
Bank Indonesia sebenarnya sudah pernah memaparkan hal ini kepada DPR beberapa tahun lalu melalui Rancangan Undang-Undang Redenominasi.
Dalam RUU tesebut, pelaksanaannya pun membutuhkan waktu minimal tujuh tahun.
Dari tujuh tahun tersebut, dua tahun akan digunakan sebagai masa persiapan. Persiapan ini akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya.
Advertisement
Setelah itu baru kurun waktu lima tahun akan digunakan sebagai masa transisi, sebelum nantinya menghapus mata uang lama dari peredaran.
Uang transisi ini akan diedarkan dan digunakan kurang lebih selama lima tahun. Jika semuanya sudah terbiasa, maka Bank Indonesia akan mencetak uang dengan desain baru dengan angka yang baru.
Faktor Penentu Redenominasi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, implementasi redenominasi rupiah ini masih menunggu persetujuan dan pertimbangan berbagai hal.
"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya," kata Perry seperti ditulis, Selasa (27/6/2023).
Mengenai berbagai pertimbangannya, Perry mengaku setidaknya ada tiga. Pertama soal makro ekonomi Indonesia harus dalam posisi stabil. Kedua, kondisi sosial yang aman. Sedangkan ketiga, faktor kondisi politik yang stabil.
"Memang ekonomi Indonesia saat ini tengah bagus. Hanya saja redenominasi ini masih harus menunggu momen yang lebih tepat," tegasnya.
Pengertian Redenominasi Rupiah
Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang rupiah. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat.
Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya. Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja.
Artinya, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Advertisement
Sudah Banyak Terapkan
Dikutip dari laman Kemenkeu, jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga atau tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar.
Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram.
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.