Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini Bogor tak hanya dikenal sebagai kota hujan, melainkan Kota Sejuta Angkot. Entah siapa yang memulai namun sebutan itu menggambarkan banyaknya angkot yang mengaspal dan memenuhi jalan-jalan di daerah penyangga ibukota.
Demi mengatasi kemacetan tersebut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menghadirkan bus sebagai alat transportasi publik massal yang lebih nyaman dan harga terjangkau. Agar masyarakat beralih menggunakan transportasi publik sekaligus mengurangi emisi karbon dari kendaraan.
“Satu bus yang ada harus bisa mengeliminasi 3 angkot,” kata Kasubdit Pendanaan dan Pengawasan Angkutan, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Ghoefron Koerniawan di kantor Kementerian Perhubungan Jakarta, Pusat, Selasa (27/6/2023).
Advertisement
Ada sejumlah alasan yang membuat pemerintah memilih menghadirkan bus ketimbang mengelola angkot yang ada di Bogor Raya. Salah satunya terkait kelayakan angkot yang beroperasi baik secara fisik maupun teknis.
“Usia angkot di Bogor di atas 15 tahun dan kelayakannya secara fisik dan teknis banyak yang tidak memenuhi spesifikasi dalam peraturan perundang-undangan,” kata Ghoefron.
Dampak Buruk
Banyaknya angkot yang beroperasi tentu berpotensi memberikan dampak buruk, baik dari sisi persaingan usaha sampai keselamatan penumpang dan pengguna jalan lainnya. “Konsekuensinya itu, karena mereka kejar setoran maka layanannya di sati sisi bisa membahayakan masyarakat,” kata dia.
Tak hanya itu, angkot juga menghasilkan emisi karbon dan menjadi sumber polusi udara. Makanya, pemerintah kata Ghoefron telah menawarkan kepada para pengusaha angkot untuk bergabung dengan pemerintah.
“Kita tawarkan untuk menjadi sopir di operator baru dan jumlah emisi bisa kita tekan,” kata dia.
Tawaran ke Sopir Angkot
Pemerintah juga menawarkan para pengusaha angkot ini menjadi transportasi pengumpan (freeder) untuk ruas-ruas jalan peyangangga jalur utama. Mengingat jalur utama akan digantikan dengan bus.
“Artinya kita tidak eliminasi gitu saja, tapi kita berikan ‘mainan baru’ dalam kapasitas load dengan skala rute lebih kecil,” kata dia.
Ghoefron menambahkan dalam rangka menekan emisi karbon, pemerintah akan menghadirkan kendaraan listrik di jalur-jalur utama. Hanya saja hal ini masih dalam tahap penjajakan dengan pihak-pihak terkait.
“Ke depan kita juga menjajaki bagaimana bus benar ini menjadi ev (electric vehicle) Nanti kita konversi jadi bus listrik karena konversi ini butuh biaya yang enggak sedikit,” pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Sopir Angkot di Kota Bogor Demo, Tuntut Pemkot Berlakukan Tarif Biskita
Sopir angkutan kota (angkot) di Kota Bogor, Jawa Barat, mogok beroperasi. Mereka mendesak Pemerintah Kota Bogor segera memberlakukan tarif Biskita.
Pusat aksi demonstrasi berlangsung di halaman Balai Kota Bogor. Para sopir juga tampak sedang mogok beroperasi sejumlah titik lokasi. Kendaraan diparkir secara berderet di bahu jalan.
Para sopir menilai belum adanya pemberlakuan tarif transportasi massal Biskita yang sudah beroperasi 1 tahun berdampak kepada pendapatan sopir angkot.
"Karena masih gratis, banyak masyarakat khususnya kalangan ibu-ibu dan pekerja yang beralih ke Biskita. Penurunan penghasilan bisa 50 persen," ujar Fredi Johardi kepada wartawan, Senin (17/4/2023).
Menurutnya, sopir yang melakukan aksi demo dari 21 trayek angkot di sekitar Kota Bogor. Seluruh sopir mengaku kena dampak program Biskita.
Tak hanya itu, mereka juga menuntut agar Dinas Perhubungan Kota Bogor mencabut aturan tentang batas usia operasional kendaraan untuk angkot. Angkot yang berusia lebih dari 20 tahun tidak mendapatkan perpanjangan KIR dan diwajibkan peremajaan.
"Kami tetap memberlakukan angkot yang sudah berumur 20 tahun masih tetap bisa beroperasi.
Fredi mengancam akan terus melakukan aksi unjuk rasa apabila tuntutannya ini tidak segera direalisasikan.
Penumpang Terlantar
Sementara itu, imbas aksi mogok angkot di Bogor mengakibatkan para calon penumpang terlantar. Mereka kebingungan karena selama ini selalu mengandalkan angkot.
"Bingung mau naik apa mau pulang, tidak ada bantuan transportasi dari pemkot. Naik ojek mahal," kata Halimah (28) ditemui di Pasar Kebon Kembang.
Herlina (34) warga lainnya terpaksa menggunakan ojek online untuk ke tempat kerjanya di kawasan Botani Square. Meski harus merogoh kocek 3 kali lipat, terpenting tidak telat masuk kerja.
"Ga ada angkot, jadi terpaksa pake Grab. Meski ongkosnya mahal, ga apa-apalah yang penting nyampe," pungkasnya.
Advertisement