Liputan6.com, Jakarta Gaung redenominasi rupiah kembali terdengar. Ini setelah Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku jika pihaknya telah menyiapkan redenominasi rupiah mulai dari desain, tahapan, hingga operasional.
Namun dia menyebutkan sejatinya ada 3 faktor yang menyebabkan pelaksanaan redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1 belum dilakukan hingga kini.
“Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain,tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya,” ujar dia, pekan lalu.
Advertisement
Mengutip laman Ivestopedia, redenominasi adalah kalibrasi ulang mata uang suatu negara, yang biasanya dilakukan karena hiperinflasi dan devaluasi mata uang, dimana mata uang lama ditukar dengan yang baru dengan kurs tetap.
Inflasi yang signifikan menjadi salah satu alasan utama suatu negara untuk melakukan redenominasi mata uangnya, alasan lain termasuk desimalisasi atau bergabung dengan serikat mata uang.
Ketika suatu negara menghadapi hiperinflasi, redenominasi menjadi salah satu langkah yang diperlukan karena membutuhkan terlalu banyak catatan lama untuk memfasilitasi perdagangan.
Dalam redenominasi, uang kertas dan koin lama biasanya dikeluarkan dari peredaran dan mata uang baru dikeluarkan. Namun, mata uang lama terkadang kembali beredar dengan nilai tetap terhadap uang kertas baru.
Ketika redenominasi rupiah terjadi, nilai baru ditetapkan untuk uang kertas dan koin baru. Salah satu contoh adalah yang dilakukan Zimbabwe pada tahun 2006, ketika melakukan redenominasi mata uangnya dengan kurs 1.000 dolar Zimbabwe lama menjadi satu dolar Zimbabwe baru.
1. 3 Pertimbangan BI
Namun, ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan Bank Indonesia untuk menerapkan redenominasi rupiah tersebut.
Faktor pertama, Perry mengatakan, kondisi makroekonomi. Kini, kondisi makroekonomi Indonesia memang sudah membaik dan pulih, tetapi masih terdapat potensi dampak rambatan (spillover) dari ekonomi global yang masih diliputi ketidakpasstian.
Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi sekitar 2,7 persen pada 2023 dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat dan China.
Di Amerika Serikat, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena pengetatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan yang mereda sehingga mendorong kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Fed) ked pean.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sedangkan di China, pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prediksi di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Faktor kedua, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan. Di Indonesia, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan sudah stabil, tetapi Indonesia masih dibayangi ketidakpastian global.
Faktor ketiga, kondisi sosial dan politik di mana untuk melakukan redenominasi diperlukan kondisi sosial dna politik yang kondusif mendukung, positif serta kuat. “Untuk kondisi sosial dan politik ini pemerintah yang lebih mengetahui,” tutur dia.
Simak fakta lain redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1 di bawah ini
2. Butuh 7 Tahun
Asal tahu saja, Bank Indonesia sebenarnya sudah pernah memaparkan hal ini kepada DPR beberapa tahun lalu melalui Rancangan Undang-Undang Redenominasi.
Dalam RUU tesebut, pelaksanaannya pun membutuhkan waktu minimal tujuh tahun. Dari tujuh tahun tersebut, dua tahun akan digunakan sebagai masa persiapan. Persiapan ini akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya.
Setelah itu baru kurun waktu lima tahun akan digunakan sebagai masa transisi, sebelum nantinya menghapus mata uang lama dari peredaran.
Uang transisi ini akan diedarkan dan digunakan kurang lebih selama lima tahun. Jika semuanya sudah terbiasa, maka Bank Indonesia akan mencetak uang dengan desain baru dengan angka yang baru.
Advertisement
3. Sejatinya Sudah Banyak Terapkan
Dikutip dari laman Kemenkeu, jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga atau tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar.
Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram.
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.
4. Negara Sukses Menerapkan
Zimbabwe, Turki, Yunani dan China menjadi salah satu negara yang pernah melakukan redenominasi pada mata uang mereka. Berikut adalah sederet negara yang pernah melakukan redenominasi, dilansir dari laman FXSSI :
1. Hungaria
2. Zimbabwe
3. Yunani
4. Yugoslavia
5. China
6. Turki
7. Georgia
Advertisement
5. Bisa Picu Hiperinflasi
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan berbagai keuntungan yang bisa didapat dari aksi Redenominasi Rupiah yang direncanakan oleh Bank Indonesia.
Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 dapat meningkatkan efisiensi transaksi keuangan, penyederhanaan laporan keuangan.
Selain itu, Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 juga bisa mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Namun, Bhima menyarankan, perlu adanya penyusunan peta jalan sebelum redenominasi rupiah benar-benar akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Jika BI mau lakukan redenominasi rupiah sebaiknya buat roadmap dulu sehingga masyarakat dan pelaku usaha bisa bersiap,” kata Bhima kepada Liputan6.com, dalam keterangan tertulis pada Selasa (27/6/2023).
Menurut Bhima, redenominasi masih belum tepat dilakukan dalam jangka pendek.
Pertimbangan Sebelum Redenominasi “Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga.
Pra kondisi ideal adalah inflasi kembali ke level pra pandemi dulu atau di kisaran 3 persen. Lebih rendah dari itu lebih bagus,” jelasnya.
Sementara itu, inflasi Indonesia masih di kisaran 4 persen dan sedang dibayangi ancaman el nino yang berisiko menaikkan inflasi.
“Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi disaat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya Hiperinflasi. Ini dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan harga ke atas,” papar Bhima.
“Sebagai contoh, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp 9.200 kemudian ga mungkin kan jadi Rp 9,5 paska redenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp 10. Ada pembulatan nominal baru ke atas. Akibatnya harga barang akan naik signifikan. Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. akibatnya apa? Hyperinflasi yang memukul daya beli,” pungkasnya.