Sukses

Mencari Solusi Masalah Sampah di Jakarta, Apa Sistem yang Tepat?

Dengan kapasitas pengolahan sampah rata-rata hanya 200 ton hingga 300 ton per hari per lokasi, RDF masih sangat jauh dari volume sampah di Jakarta yang mencapai 8.000 ton per hari.

Liputan6.com, Jakarta - Sampah menjadi masalah yang menahun di DKI Jakarta. Sampai saat ini atau sampai saat ulang tahunnya ke-496, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih dihantui dengan masalah sampah ini. Untuk itu, pemerintah daerah diminta segera melaksanakan pengelolaan sampah yang efektif sebelum masalah sampah ini meledak lagi.

Direktur Eksekutif Center for Security Energy Studies (CESS) Ali Ahmudi mengatakan, pilihan pemerintah Jakarta untuk memprioritaskan pengelolaan sampah berbasis Refused Derived Fuel (RDF) tidak tepat karena efektifitasnya sangat kurang untuk mengatasi volume sampah di Jakarta yang terus bertambah.

Dengan kapasitas pengolahan sampah rata-rata hanya 200 ton hingga 300 ton per hari per lokasi, RDF masih sangat jauh dari volume sampah di Jakarta yang mencapai 8.000 ton per hari.

“RDF bukan jawaban atas persoalan sampah di Jakarta yang sedemikian besar, barangkali RDF lebih cocok diterapkan di kota kecil dengan volume sampah kecil, bukan seperti Jakarta ini,” kata Ali dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (6/7/2023).

Ali mendorong pemda DKI Jakarta agar melanjutkan rencana sebelumnya yang akan mengoperasikan empat proyek Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate Treatment Facility (ITF).

Proyek yang menggunakan teknologi insenarator atau moving grate insenarator dinilai lebih efektif mengurangi timbunan sampah saat ini maupun di masa mendatang sejalan bertambahnya volume sampah di Jakarta.

“Sekarang teknologi insenaratornya sudah umum diterapkan di dunia karena sekarang sudah semakin maju, prosesnya tertutup sehingga asap pembakarannya tidak keluar dari fasilitas ITF, sehingga relatif aman, selain itu kita dapat listrik dari proses yang ramah lingkungan,” kata doktor bidang waste managemen dan biomassa dari Universitas Indonesia itu.

Selain itu, melanjutkan rencana pembangunan FPSA berbasis FPSA sejalan dengan keinginan presiden Jokowi atau pemerintah pusat yang telah diatur melalui Peraturan Presiden No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Perpres ini menetapkan 12 kota sebagai lokasi pembangunan intalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik, dengan konsep waste to electricity, di antaranya di DKI Jakarta.

 

2 dari 3 halaman

Cetak Biru Pemerintah Pusat

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan dalam forum diskusi yang sama, saat pemerintah DKI Jakarta memperluas penerapan teknologi RDF, menunjukkan konsep pengelolaan sampah di Jakarta tidak sejalan dengan cetak biru pemerintah pusat.

Ketika pemerintah pusat ingin mempersingkat umur PLTU Batubara, pemerintah DKI ingin memperpanjang umur PLTU Batubara dengan memberikan pelet yang dihasilkan dari teknologi RDF kepada PLTU Batubara tersebut.

“Ini yang tidak singkron. Selain itu buat saya, RDF itu hanya janji palsu ramah lingkungan, karena emisi yang dihasilkan juga tidak sedikit dari supply chain, selain itu tingkat efektifitasnya untuk menghasilkan pelet sangat rendah,” kata Bhima.

Seperti diketahui, Pemprov DKI yang menjadi salah satu dari 12 lokasi yang disebut dalam Perpres tersebut, merencanakan membangun 4 Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate Treatment Facility (ITF).

Pemprov DKI memberi penugasan kepada BUMD untuk bermitra dengan investor, dengan skema Public Private Partnership (PPP). Nilai investasinya bervariasi, tergantung pada jenis teknologi yang diusung oleh mitra investor.

 

3 dari 3 halaman

Intermediate Treatment Facility

Pembangunan ITF dengan teknologi MGI (Moving Grate Incinerator) dinilai lebih efektif bagi Jakarta karena sampah bisa dibakar hingga 97%, tidak meninggalkan polutan, bahkan air hasil pemrosesan bisa diminum, memenuhi standar lingkungan Euro 3.

Sistem ini sudah terbukti sukses digunakan di banyak negara di dunia. Teknologi incinerator ini dapat mereduksi sampah sampai dengan 98%, sedangkan RDF hanya mengolah habis sampah tersebut kurang dari 50% dari total volume.

Perlu diketahui juga bahwa dari 50% sampah yang terolah ini, maksimal 30% nya yang bisa diolah lagi menjadi produk pellet, yang rencananya akan dijual dijual ke PLTU milik PLN atau pabrik semen. “Akan tetapi, pellet yang dihasilkan belum tentu dapat dipakai karena kadang tidak sesuai dengan spec yang dibutuhkan oleh pabrik semen atau PLN, sehingga tidak terjadi pembelian,” kata Ali.

Akibatnya, teknologi RDF ini akan selalu menyisakan sampah yang tidak terolah dalam jumlah besar, makin hari akan semakin menumpuk. Sehingga target utama untuk dapat mengolah habis sampah yang masuk setiap hari, menjadi tidak tercapai.