Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan besaran kerugian yang dihadapi Indonesia akibat peristiwa bencana dalam beberapa tahun terakhir. Catatan BNPB, nilainya mencapai Rp 100 triliun.
"Kalau kita lihat dari beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2000 hingga 2016 kita bisa tarik rata ratanya sekitar 22 triliun per tahun, itu luar biasa sekali dan bisa menekan APBN kita," ungkap Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Yogi Rahmayanti dalam acara seminar yang disiarkan secara daring oleh Kemenkeu, Senin (10/7/2023).
Baca Juga
Dia menuturkan jika sekitar setiap tahun pemerintah mengalokasikan dana cadangan penanggulan bencana, dan hampir tiap tahun dana tersebut terpakai semua.
Advertisement
"Bahkan pada tahun 2018 dan 2019 itu (pengeluaran dana penanganan bencana) jauh dari yang kita cadangkan," bebernya.
Yogi Rahmayanti pun memberikan rata rata kerugian ekonomi tahunan Indonesia yang disebabkan oleh peristiwa bencana dari tahun 2000 hingga 2016.
Kerugian bencana gempa bumi salah satunya, yang pada tahun 2000 hingga 2016 mencapai Rp. 7,56 triliun, Rp 5,32 triliun akibat kebakaran hutan, Rp. 4,64 triliun dari banjir.
Kemudian Rp. 2,71 triliun akibat dari tsunami, kerugia dari longsor tembus Rp. 1,29 triliun, dan Rp. 1,25 dari erupsi vulkanik.
Sebelum strategi PARB, untuk residual risk, Pemerintah masih bergantung pada pendanaan dari donor, asuransi mikro, APBD dan APBN untuk penanganan bencana.
Kemudian setelah strategi PARB disusun, hadir Pooling Fund Bencana yang ditargetkan menjadi instrumen utama dalam pembiayaan penanggulangan bencana.
Adapun pembentukan dan pengelolaan Pooling Fund Bencana yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2021 Tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Kementerian Keuangan kemudian menjajaki PMK turunan dari perpres tersebut.
"Saat ini kami tengah menggodok di Kementerian Keuangan PMK turunan dari dari Perpres 75 tahun 2021 agar Dana Penanggulangan Bencana bisa lebih implementatif," ungkap Yogi Rahmayanti.
"Jadi badan layanan umum diharapkan bisa lebih fleksibel dari satuan pemerintah. Jadi misalnya mereka bisa mengelola dana melewati akhir tahun, mengakumulasi, dan kemudian juga termasuk mengelola dana dana dari pihak lain," jelasnya.
2.500 Bencana dan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggelar acara seminar terkait pembiayaan dan asuransi risiko bencana pada Senin, 10 Juli 2023 di Yogyakarta.
Dalam seminar bertajuk Disaster Risk Financing & Insurance & Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono mengatakan, seminar ini diadakan menyusul bencana gempa magnitudo 6,4 di Yogyakarta beberapa waktu lalu, menyebabkan kerusakan sekitar 137 rumah dan 35 fasilitas umum.
Ia menjelaskan, meskipun kerusakan yang dialami relatif lebih ringan dari gempa lainnya yang terjadi belum lama ini, peristiwa Yogyakarta belum lama ini tentunya mengingatkan kembali akan terjadinya gempa besar yang pernah terjadi di 2006. Ketika gempa saat itu menyebabkan kerugian sekitar Rp 29 triliun.
"Sayangnya, Indonesia saat itu belum memiliki strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp 300 miliar, yang kalau kita hitung itu hanya 1 persen dari total kerugian dan kerusakan," jelas Parjiono dalam pidatonya dalam acara seminar yang disiarkan secara daring oleh Kemenkeu, Senin (10/7/2023).
Sehingga hampir semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana saat itu harus ditanggung oleh APBN atau APBD. 12 tahun kemudian, serangkaian bencana berskala besar masih terus terjadi di Indonesia, di antaranya gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, gempa di Lombok, serta tsunami di Selat Sunda pada tahun 2018.
Parjiono pun menyoroti catatan dari BNPB yang menunjukkan bahwa Indonesia secara keseluruhan mengalami lebih dari 2.500 bencana yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal dunia, 10 juta orang mengungsi, serta kerusakan lebih dari 300.000 rumah, dengan kerugian yang ditaksir Rp. 100 triliun.
"Rentetan bencana yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi tentunya memicu pemerintah Indonesia untuk menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana yang kita sebut sebagai PARB, bertujuan meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan membangun resiliensi di ekonomi, di tengah terjadinya bencana di Indonesia," kata Parjiono.
Â
Advertisement
Alternatif Sumber Pembiayaan
Melalui strategi ini, kapasitas pendanaan penanggulangan bencana dapat disalurkan dan ditingkatkan dengan pencarian alternatif sumber pembiayaan baru di luar APBN, lanjutnya.
"Strategi penanggulangan bencana ini telah juga mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional sebagai pencapaian yang signifikan dalam langkah memperkuat pendanaan risiko bencana, terutama karena Indonesia merupakan satu dari sejumah negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan disaster risk finance and insurance," bebernya.
"Sebagai bagian krusial dari strategi ini, Pemerintah membentuk cooling fund bencana atau disaster cooling fund. instrumen ini merupakan pengumpulan dana pertama di dunia yang dikhususkan untuk mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana dalam penanggulangan bencana. Karena pendanaan ini juga bersifat fleksibel, responsif, berkelanjutan, serta lengkap dari APBN atau budget sebagai sumber pembiayaan bencana yang dapat diandalkan dalam jangka panjang," paparnya.
Parjiono menambahkan bahwa, dengan risiko bencana yang cukup tinggi, Indonesia memahami perlindungan sosial tidak bisa dipisahkan dari bencana dan dampak dari perubahan iklim, serta kekeringan, banjir, kenaikan air laut, dan dampak iklim lainnya berdampak terhadap produktivitas masyarakat Indonesia.