Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan potensi jumlah kerugian yang bisa dihadapi Indonesia akibat bencana alam, yang dipicu dari perubahan iklim yang merusak.
"80 persen dari bencana alam di Indonesia berhubungan dengan hidrometeorologi. Dan itu bisa menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan nilainya 0,66 persen hingga 3,45 persen dari GDP pada tahun 2030," ungkap Sri Mulyani dalam 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023, yang disiarkan secara daring pada Rabu (12/7/2023).
Baca Juga
"(Jumlah kerugian) yang digambarkan dalam persen wajah Anda semua flat. Tapi kalau diterjemahkan dalam jumlah triliun Anda akan bangun," ujarnya.
Advertisement
"Kalau sekarang PDB kita sekitar USD 20 ribu triliun, dan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berakselerasi ke 6,7 persen ditambah inflasi, kita bisa bayangkan income per capita kita naik menjadi katakanlah 10 ribu dikali jumlah penduduk, maka ukuran PDB kita bisa mencapai 2 kali lipat kurang dari tujuh tahun," Menkeu menjelaskan.
Dengan besarnya angka kerugian tersebut, Sri Mulyani mengakui, Indonesia berisiko menghadapi potensi kerusakan dan kerugian yang sangat berat dari Perubahan Iklim.
Sebagai informasi, Indonesia menjadi salah satu negara yang sudah memiliki komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional, hingga 29 persen.
"Bagaimana kita berkontribusi secara global untuk mengurangi emisi Co2 dengan target pengurangan 29 persen dan bahkan baru saja diperbarui menjadi 38,9 persen dengan upaya kita sendiri. Kalau mendapat dukungan internasional, kita bahkan berambisi menurunkan emisi global hingga 41 persen yang bahkan dinaikkan menjadi 43,2 persen," ungkap Menkeu dalam acara diskusi panel bertajuk From Commitment to Action: Safeguarding Energy Transition Towards Indonesia Net Zero Emissions 2060. .
Menkeu melanjutkan bahwa, hal ini berarti di satu kisi negara akan menghadapi permintaan energi yang makin tinggi karena masyarakat semakin maju dan sejahtera, tetapi di sisi lain pembangunan pembangkut listrik akan terus meningkat.
"(yang menjadi pertanyaan) bagaimana supaya kita membangun jumlah kapasitas pembangkit listrik bersamaan tanpa menaikkan Co2 atau bahkan menurunkan hingga 41 persen," katanya.