Liputan6.com, Jakarta Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril mengatakan pemerintah mengubah haluan anggaran kesehatan dari yang sebelumnya bersifat wajib atau mandatory spending menjadi anggaran berbasis kinerja.
"Dengan tidak adanya persentase angka di dalam UU Kesehatan, bukan berarti anggaran itu tidak ada, namun tersusun dengan rapi berdasarkan dengan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan kita capai," kata Mohammad Syahril dikutip dari Antara, Kamis (13/7/2023).
Baca Juga
Ia mengatakan tujuan rencana induk kesehatan agar semua kebijakan anggaran tepat sasaran dan tidak menghamburkan uang.
Advertisement
Syahril mengatakan besaran nominal mandatory spending tidak menentukan kualitas dari hasil yang dicapai.
Kondisi Kesehatan Orang Indonesia
Menurut Syahril kondisi saat ini terdapat 300 ribu orang di Indonesia setiap tahun wafat karena stroke, lebih dari 6 ribu bayi wafat karena kelainan jantung bawaan yang tidak bisa dioperasi, 5 juta balita hidup dalam kondisi stunting meski anggaran kesehatan yang digelontorkan sangat banyak.
“Artinya apa?, karena dulu pedoman belum ada, guideline belum ada, tapi uangnya sudah ada. Akhirnya malah terjadi kebingungan. Perencanaan copy paste dari tahun sebelumnya ditambah inflasi sekian, akhirnya outcomenya begitu begitu saja, karena belum terarah dengan baik," katanya.
Mulai tahun anggaran 2024, kata Syahril, Pemerintah menyusun terlebih dahulu rencana induk kesehatan dan pembagian peran antara pusat dan daerah terkait target capaian agar lebih terarah. "Harapannya terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik," katanya.
Mandatory Spending Hilang di UU Kesehatan Baru, Menkes Budi: Spending Besar Tak Jamin Makin Sehat
Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) disahkan menjadi Undang-Undang Kesehatan hari ini, Selasa, 11 Juli 2023. Ini artinya mandatory spending atau besaran anggaran kesehatan sebesar 10 persen dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan resmi hilang.
Sejumlah pihak masih tidak setuju dengan besaran anggaran kesehatan yang tidak dicantumkan lagi batas standarnya.
Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa seharusnya tidak memfokuskan diri pada mandatory spending. Sebaliknya, yang perlu menjadi perhatian adalah fokus ke hasil (output).
“Fokusnya jangan ke spending, fokusnya harus ke program, ke hasilnya. Jangan ke input, tapi ke output, itu yang ingin kita didik ke masyarakat,” terang Budi Gunadi usai Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023.
Fokus terhadap output ini, Budi Gunadi melihat besaran anggaran kesehatan terhadap rata-rata usia hidup di beberapa negara di dunia.
“Kita mempelajari di seluruh dunia mengenai spending kesehatan. Negara paling besar spending-nya tuh Amerika. Kenapa orang spend buat kesehatan? Ingin sehat, kenapa ingin sehat?” jelas Budi Gunadi.
“Karena enggak mau meninggalnya cepat. Di Amerika rata-rata usia hidup 80 tahun. Jadi rata-rata usia hidup itu dipakai sebagai patokan.”
Selanjutnya, bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang termasuk tinggi rata-rata usia hidupnya 80-an tahun. Spending ketiga ini justru di bawah Amerika.
“Apa yang kita pelajari dari situ? Satu, besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome (dampak/manfaat),” terang Budi Gunadi.
“Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik.”
Advertisement
Tidak Transparan
Kedua, ini membuktikan sistem kesehatan di seluruh negara, menurut Budi Gunadi yang mengutip pernyataan seorang ahli, bahwa mandatory spending itu sangat tidak transparan.
“Orang misalnya disunat di Puskesmas, biayanya berapa? Dia sudah ke RSUD berapa kali? Kita enggak tahu,” jelas Menkes.
“Dia disunat di RS Vertikal Kemenkes berapa kali, kita enggak bisa jawab. Jadi berbeda dengan banyak industri lain, sektor lain, di kesehatan tidak begitu. Akibatnya terjadi seperti tadi, orang yang spend 10 ribu dollar, outcomenya sama dengan yang spend 2000 dollar."