Liputan6.com, Jakarta Indeks dolar Amerika Serikat atau USD melanjutkan pelemahan pada Kamis, 13 Juli 2023.Â
Menurut Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, USD berlanjut melemah meyusul data inflasi AS yang lebih lemah dari perkiraan, mendorong taruhan pada Federal Reserve yang kurang agresif, sementara tembaga didukung oleh prospek langkah-langkah stimulus lebih banyak di importir utama China.
Baca Juga
"Dolar terdorong lebih rendah lagi diperdagangani Kamis, karena data inflasi AS yang lebih lemah dari perkiraan mendorong taruhan pada Federal Reserve yang kurang agresif, sementara tembaga didukung oleh prospek langkah-langkah stimulus lebih banyak di importir utama China," papar Ibrahim, dalam keterangan tertulis pada Kamis (13/7/2023).
Advertisement
Meskipun pembacaan Indeks Harga Konsumen lebih lemah, inflasi AS masih tetap di atas target tahunan Fed sebesar 2 persen.
Ibrahim melihat, hal ini kemungkinan akan menarik lebih banyak kenaikan suku bunga The Fed dalam waktu dekat, dengan pasar secara luas memperkirakan kenaikan setidaknya 25 basis poin dalam pertemuan akhir bulan Juli mendatang.
Senada, sejumlah pejabat The Fed juga mensinyalkan lebih banyak kenaikan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang, memperingatkan bahwa inflasi inti masih tetap tinggi, dan menimbulkan ancaman yang mengakar.
Perkiraan ini datang terlepas pembacaan IHK inti AS di bulan Juni lebih rendah dari yang diperkirakan, sebesar 4,8 persen tetapi masih relatif tinggi, dan jauh di atas angka utama yang tumbuh 3 persen.
Sebagai informasi, The Fed awal tahun ini menandai tingkat puncak setidaknya 50 bps lebih dari 5,25Â persen saat ini, meskipun data tenaga kerja yang lemah dan pembacaan CPI yang lemah mungkin melihat pergeseran dalam sikap ini selama pertemuan bank Juli.
Adapun spekulasi tentang penambahan stimulus di China untuk mendukung pemulihan ekonomi yang melambat. Ibrahim menyoroti berbagai laporan dari outlet media pemerintah China menunjukkan bahwa pemerintah hampir menguraikan lebih banyak pengeluaran fiskal.
Perlambatan Ekonomi China bisa Berdampak ke RI, Rupiah Diramal Mampu Menguat di Rp. 15.010
Ibrahim mengakui, pelemahan ekonomi China pasca pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
"Sejak dibukanya lockdown di China pada awal tahun, banyak negara termasuk Indonesia sebagai mitra dagang mengharapkan perekonomian Negeri Tirai Bambu ini segera pulih untuk mendorong pertumbuhan global," katanya.
"Namun, apa yang diharapkan tidak sesuai, justru kondisinya malah berkebalikan. Ekonomi China hingga saat ini masih lesu. Tercermin dari pelemahan mata uang China (CNY) mengalami depresiasi sepanjang tahun ini," papar Ibrahim.
Selain itu, Indeks Purchasing Manager (PMI) manufaktur China pada bulan Juni 2023 menjadi 50,5, melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9.
"Para ekonom banyak yang menganggap, perlambatan ekonomi China memang berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia," pungkasnya.
Dia melanjutkan, keterkaitan ekonomi antara Indonesia dengan China cukup kuat. Hal itu salah satunya terlihat dari estimasi sensitivitas pertumbuhan ekonomi China terhadap perekonomian Indonesia sebesar 0,39Â persen, yang berarti perlambatan ekonomi China sebesar 1 persen berpotensi memperlambat ekonomi Indonesia sebesar 0,39Â persen.
"Ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan mitra dagang lainnya, sebagai contoh Amerika Serikat," jelas Ibrahim.
Dalam penutupan pasar sore ini, mata uang Rupiah ditutup Menguat 109 point, walaupun sebelumnya sempat menguat 115 point dilevel Rp. 14.966 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.074, Ibrahim mengungkapkan.
"Sedangkan untuk perdagangan besok , mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp. 14.910- Rp. 15.010," demikian menurut prediksinya.
Advertisement
Ekonomi China Melemah, Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Selain itu, diperkirakan perlambatan ekonomi China juga akan menekan harga komoditas global, dan ini juga mempengaruhi ekonomi Indonesia yang masih cukup banyak mengandalkan komoditas, terutama batu bara dan CPO.
"Daerah-daerah penghasil komoditas kami perkirakan akan terdampak seperti di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan," Ibrahim menyebutkan.
Namun, pelemahan ekonomi China terhadap negara mitra dagang khususnya di Indonesia, menurutnya, seharusnya tidak akan terlalu berdampak signifikan.
Ibrahim menjelaskan, hal ini dikarenakan porsi neraca dagang dalam ekonomi tidak terlalu signifikan.
"Saat ini Indonesia hanya bisa mengandalkan pada konsumsi domestik, belanja pemerintah dan Foreign Direct Investment (FDI) dikala kondisi global bermasalah, termasuk ekonomi china yang melambat," jelasnya.