Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bekerja sama dengan EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia.
Riset tersebut mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan bagi pemangku kepentingan demi memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui peranan UMKM.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko mengatakan, dari riset tersebut diperoleh beberapa temuan yang menarik, salah satunya mengenai kredit gap.
Advertisement
"Dari riset ini ada beberapa temuan menarik terkait segmentasi UMKM yang dapat mendukung pengambilan kebijakan berdasarkan tingkat literasi agar penyaluran pendanaan dapat tepat sasaran," kata Sunu dalam peluncuran riset, Jumat (14/7/2023).
Sunu mengungkapkan, berdasarkan hasil riset EY, total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 4.300 triliun dengan kemampuan suplai saat ini sebesar Rp 1.900 triliun.
Artinya, masih terdapat selisih Rp 2.400 triliun total pembiayaan sektor UMKM. Sehingga pda sektor ini diprediksi memiliki pertumbuhan kurang lebih 7 persen dari periode 2022 hingga 2026. Hal ini menyebabkan kredit gap akan terus bertambah.
"Jadi, selama ini sebelum ada riset ini, AFPI pelaku usaha menilai kredit gap yang diterbitkan bank dunia itu semakin mengecil, karena kita beranggapan telah membantu memberikan pinjaman ke unbankable, ternyata hasil dari riset ini menyatakan sebaliknya gap itu semakin besar," ujarnya.Â
Kemudian riset ini juga menemukan kontribusi pembiayaan industri Fintech lending pada 2026 diprediksi hanya sebesar 1 persen dari total suplai dan tumbuh dengan laju 0,1 persen.
Â
Fintech Lending
Dengan demikian, kemampuan fintech lending untuk industri ini masih kecil. Hal ini disebabkan karena belum merata dan rendahnya literasi keuangan dan literasi digital diberbagai daerah di Indonesia, serta belum terbentuk ekosistem regulasi dan operasi bagi Fintech lending untuk mendukung model bisnis dan pangsa pasar mereka. Â
"Untuk itu perlu ditingkatkan perubahan kebijakan seperti insentif pendanaan yang menarik atau peningkatan limit penyediaan pendanaan platform fintech untuk meningnkatkan pasokan pembiayaan," ujarnya.
Menurut dia, dengan adanya hasil riset UMKM ini, fintech lending diharapkan bisa memainkan pernananya lebih besar, karena aktivitas platformnya lebih cocok untuk UMKM, yakni mudah diakses.
"Para penyelenggara fintech lending AFPI bisa menyalurkan pendanaan tepat sasaran, seiring segementasi UMKM yang lebih rinci dengan menambahkan instrumen literasi digital dan literasi keuangan, sehingga menjadi sumbangsih nyata industri Fintech terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," pungkasnya.Â
Advertisement
OJK Mau Cabut Moratorium Izin Fintech Lending, Waspada Fraud!
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk mencabut moratorium terkait perizinan fintech lending. Menyikapi rencana ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta OJK untuk mempertimbangkan beberapa hal.
Menurutnya, tingkat literasi digital masyarakar masih cukup rendah. Pada saat yang sama, dia mencatat makin banyak rasio kredit macet. Dia khawatir jika moratorium izin fintech lending dicabut akan memunculkan kecurangan.
"Pencabutan moratorium perizinan fintech lending berpotensi memunculkan fraud yang merugikan banyak kalangan di tengah masih rendahnya tingkat literasi digital masyarakat serta tren peningkatan kredit macet," kata dia dalam keterangannya, Selasa (4/7/2023).
Sebelum melakukan pencabutan, pria yang karib disapa Bamsoet ini meminta pemerintah melalui OJK ikut menyiapkan langkah antisipasinya. Khususnya pada langkah-langkah untuk mencegah praktik yang tak sesuai aturan.
"Meminta pemerintah memastikan pencabutan moratorium perizinan fintech lending harus disertai dengan langkah-langkah mitigasi agar tidak terjadi lagi kasus pinjaman online atau pinjol yang merugikan masyarakat," paparnya.
Sejalan dengan itu, dia juga meminta pemerintah meningkatkan langkah-langkah untuk mengedukasi masyarakat terkait literasi digital. Tujuannya untuk memastikan masyarakat memiliki pemahaman mengenai publik fintech lending dan risiko yang terkait dengannya.
"Meminta OJK memperkuat pengawasan terhadap praktik-praktik fintech lending yang berpotensi merugikan masyarakat, dikarenakan perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama," pungkasnya.