Sukses

ADB Ramal Ekonomi Negara Berkembang Asia Cerah di 2023, tapi Tahun Depan Sedikit Melambat

Dalam pembaruan prospek ekonomi regionalnya, ADB mempertahankan perkiraan pertumbuhan 2023 untuk negara berkembang Asia sebesar 4,8 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mengatakan bahwa ekonomi negara berkembang di Asia berada di jalur yang tepat untuk tumbuh lebih cepat di 2023. Ini karena konsumsi dan investasi yang kuat di kawasan itu mengimbangi dampak permintaan global yang lemah.

Mengutip US News, Rabu (19/7/2023) dalam pembaruan prospek ekonomi regionalnya, ADB mempertahankan perkiraan pertumbuhan 2023 untuk negara berkembang Asia sebesar 4,8 persen.

Tetapi ADB juga merevisi perkiraannya pada pertumbuhan untuk tahun depan menjadi 4,7 persen, dari semula 4,8 persen pada bulan April, yang mencerminkan risiko, termasuk dari perang Rusia Ukraina.

Sementara itu, ADB mempertahankan proyeksi pertumbuhannya untuk subkawasan Asia Timur dan Asia Selatan, dengan China dan India masih diperkirakan akan tumbuh masing-masing sebesar 5,0 persen dan 6,4 persen di 2023, dan 4,5 dan 6,7 persen pada tahun 2024.

Untuk Asia Tenggara, ADB sedikit memangkas prospeknya, yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,6 persen di 2023 dan 4,9 persen pada 2024. Penurunan proyeksi ini terutama karena melemahnya permintaan global untuk ekspor.

Sebelumnya, ADB memproyeksi ekonomi kawasan ASEAN akan tumbuh 4,7 persen dan 5,0 persen. 

Sebagai informasi, negara berkembang di Asia terdiri dari 46 ekonomi di Asia-Pasifik dan tidak termasuk Jepang, Australia, dan Selandia Baru.

Risiko terbalik terhadap prospek pertumbuhan negara berkembang Asia adalah inflasi yang lebih lambat, yang memungkinkan sebagian besar bank sentral di kawasan ini menahan pengetatan, membantu menopang konsumsi domestik.

Inflasi di negara negara berkembang di Asia diperkirakan akan melambat menjadi 3,6 persen tahun ini dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,2 persen, dengan perlambatan lebih lanjut menjadi 3,4 persen pada 2024 mendatang.

2 dari 4 halaman

Indonesia Butuh Investasi hampir Rp 6.000 Triliun untuk Topang Ekonomi

Indonesia membutuhkan investasi kurang hampir Rp 6.000 triliun pada periode 2020 hingga 2024. Investasi tersebut dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target pemerintah.  

"Investasi ini menjadi kunci untuk pertumbuhan dan pemulihan ekonomi Indonesia, kami sampaikan bahwa kebutuhan investasi 2020-2024 ini sebesar antara Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun," kata Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal BKPM Riyatno dikutip dari Antara, Kamis (6/7/2023).

Dari total jumlah tersebut, secara komposisi kebutuhan paling besar berasal dari sektor swasta, yakni sebesar Rp 4.858 triliun-Rp 4.949 triliun atau 82-84 persen dari keseluruhan kebutuhan investasi.

Sedangkan nilai investasi yang dibutuhkan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berada pada kisaran Rp 503triliun-Rp 577 triliun atau 8,5-9,7 persen, kemudian dari sektor pemerintah senilai Rp 439 triliun-Rp 497 triliun atau sebesar 7,5-8,4 persen.

"Jadi kami di bidang investasi ini, tugasnya adalah menarik investasi baik dari dalam maupun dari luar, karena sekali lagi kebutuhan investasi ini lebih banyak dari sektor swasta," ujar Riyatno.

Sebelumnya, realisasi investasi sepanjang tahun 2022 tercatat telah mencapai Rp1.207,2 triliun. Realisasi itu naik 34 persen secara tahunan (yoy) sekaligus mencetak rekor tertinggi.

 

3 dari 4 halaman

Ada Beberapa Tantangan

Riyatno menambahkan, mengacu pada peta jalan (road map) hilirisasi hingga tahun 2040, ada 8 sektor prioritas kebutuhan investasi untuk hilirisasi yang mencakup sektor mineral dan batubara dengan nilai USD 431,8 miliar, sektor minyak dan gas bumi sebesar USD 68,1 miliar, serta sektor perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan yang membutuhkan USD 45,4 miliar.

Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan investasi tersebut. Tantangan itu mulai dari tensi geopolitik, perubahan ikllim, hingga digitalisasi yang semakin cepat berkembang.

"Hal ini menjadi penting untuk dibahas karena meskipun Indonesia telah memasuki fase pasca pandemi, potensi resiko dan tantangan ekonomi kedepan akan semakin berat. Mulai dari tensi geopolitik, perubahan iklim, hingga digitalisasi terus mengancam ekonomi Indonesia. Dengan potensi risiko serta tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi, kami di Pemerintahan menilai bahwa investasi menjadi kunci dari pertumbuhan dan pemulihan ekonomi," pungkasnya. 

4 dari 4 halaman

IMF Ramal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5 Persen di 2023

Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 dan 2024. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 bisa tumbuh 5,0 persen dan 5,1 persen pada 2024 mendatang. 

"Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh IMF untuk tahun 2023 dan 2024 masing-masing diperkirakan 5,0 persen dan 5,1 persen," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Jakarta, Rabu (28/6/2023).

Dalam Laporan Artikel IV 2023 yang diterbitkan IMF, proyeksi RI tersebut lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya akan tumbuh 2,8 persen di tahun 2023 dan 3,0 persen pada 2024. Bahkan proyeksi tersebut juga lebih tinggi dari sejumlah negara di kawasan ASEAN maupun antar anggota G20. 

"Jika dibandingkan dengan negara G20 dan ASEAN-6, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi, bersama dengan Filipina, India, dan Vietnam," sambungnya. 

Capaian Positif IndonesiaDalam laporan tersebut, IMF turut menyoroti  berbagai capaian positif ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat hingga mencapai 5,3 persen di tahun 2022 karena peningkatan permintaan domestik, penguatan sektor penting seperti manufaktur dan jasa-jasa, serta pertumbuhan ekspor yang tinggi. 

Kinerja ekonomi yang solid juga terlihat dari perbaikan pasar tenaga kerja yang ditandai oleh penurunan angka pengangguran. Tekanan inflasi Indonesia juga terus mereda didukung koordinasi kebijakan yang efektif serta penurunan harga komoditas. 

Di sisi lain, kondisi sistem keuangan Indonesia tetap stabil dan profitable di tengah tingginya gejolak keuangan global. Pemerintah bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan terus berkoordinasi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk memastikan stabilitas sektor keuangan secara berkala.

Video Terkini