Sukses

Social Commerce Booming di Indonesia, Ekonom: Aturannya Perlu Dibikin

Perkembangan Social Commerce seperti TikTok Shop di ASEAN dan Indonesia mengalami peningkatan yang pesat sehingga butuh peraturan terutama terkait dengan industri serupa seperti e-commerce dan ritel offline.

Liputan6.com, Jakarta Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti perkembangan bisnis di social commerce yang berkemban pesat di Indonesia, salah satunya platform TikTok.

Digital Economy Researcher INDEF, Nailul Huda melihat, perkembangan Social Commerce di ASEAN dan Indonesia mengalami peningkatan yang pesat sehingga butuh peraturan terutama terkait dengan industri serupa seperti e-commerce dan ritel offline.

"Social commerce itu belum ada peraturan sama sekali di Indonesia. Ini yang kita butuhkan sehingga ada (peraturan) yang sama antara social commerce dan e commerce," kata Nailul dalam acara diskusi Diskusi Publik "Project S TikTok: Ancaman atau Peluang? yang disiarkan secara daring pada Senin (24/7/2023).

Paparan Nailul juga menyoroti peningkatan impor di Indonesia seiring berjalannya ecommerce dan social commerce boom.

"(Sebanyak) 90 hingga 95 persen (barang yang dijual) di ecommerce kita merupakan barang impor, meski yang menjual merupakan seller lokal," sebutnya.

Maka dari itu, menurutnya, dengan social commerce yang berkembang pesat diperlukan adanya penyempurnaan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, salah satunya terkait definisi Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang hanya mengatur transaksi Perdagangan.

Bukan untuk Transaksi Perdagangan

Dijelaskannya, hal ini dikarenakan social commerce bukan untuk transaksi perdagangan melainkan komunikasi secara umum.

"Karena social commerce ini belum termasuk transaksi perdagangan, maka tidak dicantumkan dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020," bebernya.

"Perlu ada peraturan terkait dengan Penyelenggara Sarana Perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jualbeli," papar Nailul.

Selain itu, diperlukan juga adanya Peraturan mengenai barang impor dimana harus ada di deskripsi barang di setiap jendela barang.

Sebagai informasi, Social Commerce adalah gabungan antara jejaring sosial dan e-commerce dengan iklan tertarget dan personal. Dalam praktik Social Commerce, media sosial memfasilitasi koneksi, dan konten online mendukung interaksi antara penjual dan pembeli.

2 dari 3 halaman

Ancam UMKM Lokal, Pemerintah Harus Turun Tangan Tertibkan Social Commerce

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dinilai perlu segera turun tangan untuk menertibkan kegiatan social commerce TikTok yang mulai meresahkan para pelaku UMKM dalam negeri, serta pelaku bisnis e-commerce.

Head Research Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan saat ini aplikasi media sosial TikTok menggabungkan antara media sosial dan e-commerce dengan menfasilitas transaksi antara user di seluruh dunia.

Sebagai pemilik media sosial yang ikut menfasilitasi transaksi perdagangan, tentu saja menguntungkan Tik Tok karena dengan menguasai algoritma user, perusahaan akan mudah mencari jejak rekam dan kebiasaan pengguna, termasuk produk apa yang paling dicari.

Kegiatan ini, jelasnya, perlu segera ditertibkan karena berpotensi menjadi tempat transaksi cross border dan terbebas dari peraturan e-commerce. Antara lain, izin BPOM, izin edar, sertifikasi halal, pajak dan sebagainya.

Namun, social commerce dapat langsung lolos memasarkan produk ritel online kepada pengguna. Ketika ditanya soal klaim TikTok Indonesia dan Kementerian Perdagangan yang menyebut tidak ada produk-produk cross border di TikTok Shop, Alfred Nainggolan mengatakan aktivitas cross border tentunya tidak bisa dijamin dengan mengandalkan komitmen perusahaan saja, tetapi negara harus mengeluarkan peraturan perundang-undangan baku dan mengikat.

 

3 dari 3 halaman

Ancam Produk UMKM Loka

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki mengatakan Project S TikTok mengancam produk UMKM dalam negeri karena barang yang dipasarkan diduga berasal dari luar negeri. Teten menuding Tik Tok berbohong soal tidak ada produk impor yang dipasarkan di Tik Tok.

Dia mengatakan kondisi ini menyebabkan akun digital yang dibuka untuk menfasilitasi UMKM dimaupulasi karena sebagian produk yang dipasarkan di markerplace adalah produk impor.

"Meskipun UMKM kita sudah 21 juta yang terhubung ke ekosistem digital, sudah on boarding di marketplace, tapi sebagian produk yang dijual itu adalah impor,” jelas Teten.

Dia mengatakan kecurigaan tentang Project S TikTok Shop ini pertama kali mencuat di Inggris. Project S TikTok Shop ini dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.

Seperti diketahui, Project S TikTok merupakan proyek dari aplikasi video pendek asal China, TikTok. Perusahaan ingin memperluas penawaran ritel online-nya, di mana perusahaan induk di China, ByteDance, akan menjual produk mereka sendiri melalui TikTok Shop.