Liputan6.com, Jakarta - Kawasan zona euro atau Eropa kembali dihantui ancaman resesi, ketika Italia menghadapi kontraksi ekonomi pada kuartal II 2023. Sebelumnya, ekonomi Italia tumbuh 0,6 persen di kuartal I.
Melansir Bloomberg, Selasa (1/8/2023) produk domestik bruto Italia menyusut sebesar 0,3 persen di kuartal II, jauh lebih buruk daripada pertumbuhan nol persen yang diperkirakan oleh analis, dan berbeda dengan ekspansi keseluruhan di kawasan euro.
Baca Juga
Pejabat statistik Italia mengaitkan penurunan PDB dengan penurunan permintaan domestik, sementara ekspor bersih gagal berkontribusi pada pertumbuhan.
Advertisement
Data menggambarkan bagaimana aktivitas di negara ekonomi terbesar ketiga zona euro mulai terdampak kenaikan suku bunga, melemahnya permintaan ekspor global dan kembalinya dukungan fiskal.
Jika tanpa kontraksi Dana Moneter Internasional memprediksi PDB Italia akan naik 1,1 persen tahun ini.
Kontraksi PDB Italia menyusul seruan kebijakan ekonomi pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni yang mendorong ekspansi lebih cepat dari Prancis dan Jerman.
Bulan lalu, Menteri Keuangan Italia Giancarlo Giorgetti mengklaim bahwa ekonomi negaranya dapat mencapai pertumbuhan hingga 1,4 persen pada tahun 2023, didukung oleh ledakan turis di musim panas secara penuh, yang terjadi pertama kali sejak pandemi melanda.
Efek itu mungkin masih membantu Italia pada paruh kedua tahun ini, tetapi perlambatan global yang dipicu oleh perlambatan di China pada sektor manufaktur cukup memunculkan dampak, sama seperti hal itu juga memukul ekonomi Jerman.
Sebelum Italia, ekonomi Jerman telah mengalami kontraksi selama dua kuartal atau resesi, dengan penyusutan 0,2 persen di akhir 2022 dan berlanjut turun 0,3 persen di kuartal pertama 2023.
Kinerja Pabrik di Italia Sempat Loyo
Pada bulan Juni, pabrik-pabrik di Italia sempat mengalami bulan terburuknya sejak puncak lockdown pandemi pada awal tahun 2020, menurut data survei manajer pembelian negara itu awal bulan ini.
Di zona euro secara keseluruhan, ekonomi tumbuh 0,3 persen pada kuartal kedua, menurut data resmi. Ekonomi Prancis dan Spanyol pun tumbuh, melebihi stagnasi di Jerman dan kontraksi Italia.
Selain perang yang sedang berlangsung di Ukraina dan kelemahan di pasar ekspor China, terdapat ketidakpastian dari Bank Sentral Eropa.
Sementara pengetatan moneter yang paling agresif dalam sejarahnya hampir berakhir, belum diketahui secara jelas apakah masih akan ada kenaikan suku bunga lanjutan.
Yang akan menentukan adalah prospek inflasi. Inflasi utama Eropa melambat menjadi 5,3 persen, dan Italia lebih lambat dari yang diharapkan sebesar 6,4 persen.
Advertisement
Jerman Masuk Jurang Resesi, Ekonomi 2023 Diramal Stagnan
Dengan Jerman yang sudah berada dalam resesi teknis, para ekonom memperkirakan bahwa pertumbuhan PDB negara ekonomi terbesar di Eropa akan stagnan selama sisa tahun ini.
Melansir CNBC International, Jumat (7/7/2023) kantor statistik Jerman merevisi pembacaan PDB kuartal pertama dari nol menjadi -0,3 persen pada bulan Mei 2023, mengikuti kontraksi 0,5 persen pada kuartal terakhir tahun 2022. Ini menjadikan Jerman masuk ke jurang resesi.
Tetapi ekonomi yang berkontraksi bukanlah satu-satunya angka yang menunjukkan bahwa ekonomi Jerman sedang mengalami perlambatan.
Untuk bulan Juni 2023, inflasi Jerman diperkirakan akan mencapai 6,4 persen, menandai peningkatan dari 6,1 persen pada bulan Mei.
Meskipun diproyeksikan meningkat, angka tersebut masih merupakan penurunan yang signifikan dari level tertinggi dalam hampir 50 tahun sebesar 8,8 persen pada bulan Oktober, tetapi tetap jauh di atas target Jerman sebesar 2 persen.
"Sepertinya, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan, inflasi akan tetap berada di level yang sangat tinggi. Harapan mungkin untuk paruh kedua inflasi mungkin turun sampai batas tertentu," kata Joachim Nagel, presiden bank sentral Jerman, Bundesbank.
Sementara inflasi mungkin mulai turun, bank sentral Jerman memperkirakan bahwa inflasi tidak akan mencapai 2 persen hingga setidaknya tahun 2025.
Konsumen Jerman bahkan merasakan dampak inflasi tinggi yang bertahan lama, tekanan keuangan pada rumah tangga juga tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat.
Meskipun pemerintah tidak dapat serta merta mengendalikan inflasi, hal itu dapat mengurangi dampaknya terhadap populasi Jerman, menurut Sylvain Broyer, kepala ekonom EMEA di S&P Global Ratings.
"Apa yang dapat dilakukan oleh otoritas fiskal dalam menghadapi inflasi yang tinggi adalah meringankan rasa sakit akibat inflasi pada warga negara yang paling rapuh," katanya.
Jerman Hadapi Lonjakan Biaya Energi
Jerman telah memperkenalkan berbagai paket bantuan pada tahun 2022, yang dirancang untuk membantu warga Jerman mengatasi kenaikan biaya hidup, termasuk peningkatan tunjangan anak dan pembayaran satu kali untuk pelajar dan pensiunan.
Bank Sentral Eropa secara konsisten menaikkan suku bunga sejak Juli 2022 karena berupaya menurunkan inflasi di seluruh kawasan, dan suku bunga utama saat ini duduk di 3,5 persen setelah kenaikan 25 basis poin lebih lanjut pada 15 Juni.
Di sisi lain, beberapa sumber energi di Jerman mulai menyesuaikan dengan harga sebelum perang Rusia Ukraina pecah. Hal ini mendorong krisis energi terus berdampak pada beberapa industri terbesar di negara ekonomi terbesar di Eropa itu.
"Produksi industri intensif energi berkurang secara substansial. Sektor otomotif (juga telah] mengalami kesulitan selama beberapa waktu dan restrukturisasi substansial masih ada di depan," kata Ketua Ekonomi Moneter di Universitas Goethe di Frankfurt, Volker Wieland.
Tagihan listrik di Jerman diperkirakan akan meningkat sekitar 35 persen tahun ini, sementara harga listrik industri akan naik sekitar 75 persen, menurut laporan oleh Allianz.
Advertisement