Liputan6.com, Jakarta Kinerja finansial PTPN Group dan multiplier effect dari aktivitas perusahaan, diharapkan dapat membawa PalmCo dan SupportingCo berperan besar dalam industri dan perekonomian Indonesia.
Sepanjang tahun 2021, holding PTPN III (persero) membukukan laba bersih konsolidasi sebesar Rp 4,64 triliun. Angka ini naik sebesar 500 persen dibandingkan laba perusahaan tahun 2020 karena pada saat itu, perusahaan merugi senilai Rp 1,14 triliun.
Baca Juga
"Kinerja keuangan positif masih berlanjut hingga tahun 2022, laba bersih konsolidasi PTPN Group mencapai Rp 5,51 triliun atau naik sebesar 19 persen dari tahun sebelumnya, sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah perusahaan," tutur Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto, dikutip , Sabtu (5/8).
Advertisement
Selain dukungan dari transformasi bisnis yang telah dilakukan, Ryan menilai, rencana pembentukan PalmCo yang menggarap bisnis sawit dan SupportingCo sebagai perusahaan pengelola aset perkebunan, dapat meningkatkan daya saing PTPN Group di dalam negeri maupun di pasar global.
"Rencana ini sangat bagus, PTPN Group akan bisa menjadi lebih kuat dari pada perusahaan sawit milik pesaing kita, yaitu perusahaan Pemerintah Malaysia. Namun, itu tadi harus lebih efisien, produktif dan modern. Termasuk harus sudah digitalisasi," tuturnya.
Rencana IPO PalmCo
Apalagi, jelasnya, ada rencana PalmCo mencatatkan sahamnya di bursa efek Indonesia melalui penawaran saham perdana (intial public offering/IPO).
Dengan menjadi perusahaan tercatat, dia meyakini PalmCo dapat beroperasi secara efisien dan efektif. Sehingga, perbaikan kinerja perusahaan dapat terjadi secara berkelanjutan.
Lebih jauh, dia mengatakan jika telah dibentuk, PalmCo dan SupportingCo dapat diharapkan memiliki dampak ganda (multiplayer) dalam memperkuat industri sawit dan perekonomian Indonesia. Baik langsung kepada tenaga kerja maupun dari nilai tambah yang dihasilkan.
Stabilitas Harga Minyak
PalmCo, menurutnya, dapat diandalkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng pada kondisi-kondisi darurat, seperti di awal Perang Ukraina-Rusia yang menyebabkan kelangkaan minyak nabati di pasar internasional. Pada saat minyak nabati di luar negeri langka, harga CPO ikut naik, sehingga produsen sawit di Indonesia memilih menjual CPO ke luar negeri, dibandingkan menyediakan untuk kebutuhan lokal.
"Sebagai penyandang kata “negara” dalam nama perusahaan, tentu PalmCo bisa ditugaskan untuk menstabilkan harga pada kondisi-kondisi tertentu. Tidak masalah. Asalkan tidak merugikan perusahaan. Jadi PalmCo dapat menjadi stabilisator harga minyak goreng," terangnya.
PalmCo dan SupportingCo, tambahnya lagi, dapat berperan lebih besar dalam perekonomian karena industri sawit termasuk padat karya dan sekaligus padat modal.
Advertisement
Lapangan Kerja
Dengan demikian lapangan kerja yang dibuka akan besar, sehingga akan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, terutama di sekitar lokasi perkebunan.
Sebagai perusahaan padat modal, PalmCo dan SupportingCo tentunya membutuhkan dukungan modal, baik dari pembiayaan, perbankan maupun dari pasar modal. Seberapa besar modal yang akan dikucurkan, jelasnya, tergantung pemilik, yaitu Pemerintah melalui Kementerian BUMN.
Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya, jelas Ryan Kiryanto, SupportingCo dan PalmCo juga harus dipimpin oleh para direksi yang memiliki kemampuan di bisnis, perilaku dan mindset modern, serta terbuka. "Jadi pesan kepada Erick Thohir (Menteri BUMN-red) tempatkanlah orang-orang dari manajemen atau dari PTPN yang lain yang jago-jago yang punya talent-talent hebat di PTPN. Sehingga kinerja anak usaha yang masih merah berubah menjadi positif," pesannya.