Liputan6.com, Jakarta Sampai dengan 31 Juli 2023, pemerintah telah menunjuk 158 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jumlah tersebut termasuk dua pemungut PPN PMSE yang ditunjuk pada bulan Juli 2023.
Penunjukan di Juli 2023:
- Salesforce.com Singapore Pte. Ltd.
- Grammarly, Inc.
Dari keseluruhan pemungut pajak digital yang telah ditunjuk tersebut, 139 di antaranya telah melakukan pemungutan dan penyetoran sebesar Rp13,87 triliun.
Baca Juga
“Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, dan Rp3,73 triliun setoran tahun 2023,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti dikutip Selasa (8/8/2023).
Advertisement
Selain dua penunjukan yang dilakukan, di bulan ini pemerintah juga melakukan pembetulan elemen data dalam surat keputusan penunjukan atas Audible Ltd.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022, pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut wajib memungut PPN dengan tarif 11% atas produk digital luar negeri yang dijualnya di Indonesia.
Bukti Pungut PPN
Selain itu, pemungut juga wajib membuat bukti pungut PPN yang dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis lainnya yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
Ke depan, untuk terus menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.
Kriteria pelaku usaha yang dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE yakni, nilai transaksi dengan pembeli Indonesia telah melebihi Rp 600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan; dan/atau jumlah traffic di Indonesia telah melebihi 12 ribu setahun atau seribu dalam sebulan.
Mendag: Larangan Jual Barang Impor di Bawah Rp 1,5 Juta Hanya Berlaku di Marketplace
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan, perubahan dari peraturan Menteri Perdagangan 50/2020 tentang Ketentuan Terkait Perizinan Usaha, Iklan, Pembinaan dan Pengawasan Agen Niaga Dalam Perdagangan masih dalam proses.
Hingga kini, Mendag berkata, aturan mengenai sistem perdagangan elektronik itu masih dalam harmonisasi bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenkopUKM).
"Revisi permendag sudah selesai sekarang tanggal 1 lagi diharmonisasi berarti hari ini di Kemenkumham," Kata Mendag Zulhas di Jakarta, pada Selasa (1/7/2023)."Iya (cross border), itu saja," sambungnya
Kemudian, Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan, Kemendag tidak mengizinkan para social commerce dari luar negeri bisa menjual produk impor di bawah harga USD 100 atau Rp 1,5 juta. Juga, karena adanya perjanjian lisensi yang berbeda, dilarangnya bagi platform digital menjadi produsen.
"Kalau misalnya A di marketplace dia tidak bisa menjadi produsen karena izinnya lain lembaganya dia beda," papar Mendag Zulhas.
Harus Bayar Pajak
Selanjutnya, pemerintah juga mewajibkan social commerce memiliki izin usaha dan harus membayar pajak.
"Perlakuannya nanti harus sama dengan UMKM kita, perizinan, bayar pajak. Kalau diimpor barang harus bayar pajak gitu ya," pungkasnya.
Advertisement
Wajib Bayar Pajak
Sebelumnya, MPR RI Bambang Soesatyo mendukung keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki yang mendesak agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/ 2020 tentang Ketentuan Terkait Perizinan Usaha, Iklan, Pembinaan dan Pengawasan Agen Niaga dalam transaksi elektronik,untuk segera diperbaiki.
Dalam isi pemendag yakni adanya larangan ritel online perdangangan melalui lintas batas. Semata-mata hal ini bisa melindungi UMKM di dalam negeri dari gempuran dunia maya, khususnya social commerce Project S TikTok Shop.
Menurutnya, apapun produk dari luar negeri yang masuk ke Indonesia wajib hukumnya mematuhi sistem impor pada umumnya tanpa pengecualian.
"Selain diatur melalui Permendag, pemerintah juga perlu membuat peraturan yang lebih tinggi melalui Peraturan Pemerintah (PP) untuk membatasi dan melindungi penggunaan data pribadi oleh platform digital, sekaligus sebagai turunan dari UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Mengingat saat ini, platform digital dengan mudahnya mengumpulkan berbagai data pribadi yang diakses melalui handphone," Jelas Bamsoet dalam Forum Bisnis Ikatan Alumni UPN Veteran Yogyakarta, dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).