Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan evaluasi industri yang mendapat insentif harga gas murah sebesar USD 6 per MMBTU. Evaluasi ini dilakukan untuk menimbulkaan keadilan.
Soal harga gas murah ini, Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin meminta pemerintah untuk segera merealisasikan evaluasi tersebut.
Baca Juga
“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” tegas , ditulis Jumat (11/8/2023).
Advertisement
Eddy menambahkan program harga gas murah ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.
Penerimaan Negara Berkurang
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu.
Belum Jaminan
Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama 2 tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.
“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.
Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD 6, mampu bersaing di pasar domestik. Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.
Pekan lalu Kementerian Perindustrian menyebut, produk keramik asal Cina masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir keramik asal Cina ini menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia menurun. Pada kuartal I 2023, utilisasi industri keramik Indonesia sebesar 75%, turun dibandingkan kuartal I 2022 sebesar 78%.
“Kami lihat memang banyak produk keramik impor yang beredar di pasar," ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (31/7).
Advertisement
Data Kemenperin
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian terdapat sebanyak 217 perusahaan dari 7 industri penerima HGBT dengan total alokasi sebesar 1.253,36 BBTUD pada 2022. Dari total alokasi tersebut, realisasi volume gas yang terpakai hanya mencapai 83,02% atau 1.040,54 BBTUD.
Dari 7 sektor industri tersebut, dua sektor yaitu industri baja dan keramik merupakan penerima gas subsidi dengan penggunaan gas terendah. Industri baja memperoleh alokasi 76,34 BBTUD kepada 63 perusahaan. Dari alokasi tersebut, gas yang terserap hanya 67,5% atau 51,29 BBTUD.Sementara itu terdapat jatah 130,60 BBTUD gas murah kepada Industri keramik. Sayangnya terpakai hanya 89,66 BBTUD atau 68,65%