Sukses

Kenaikan Bunga Fed Tertinggi di 2 Dekade Tak Berpengaruh ke Indonesia, Ini Alasannya!

Ketika suku bunga negara maju seperti The Fed naik biasanya juga diikuti oleh Bank Indonesia. Tapi kali ini berbeda, kenaikan suku bunga dari The Fed ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga BI.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Sentral AS atau the Fed terus menaikkan suku bunga acuan hingga level tertinggi dalam dua dekade. Saat ini, suku bunga The Fed berada di level 5,25%- 5,50%. Apakah kenaikan suku bunga the Fed ini pengaruhnya terhadap ekonomi domestik Indonesia?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga Fed sangat jelas memiliki pengaruh bagi negara-negara berkembang.

Namun bagi Indonesia, kenaikan ini ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Ketika suku bunga negara maju seperti The Fed naik biasanya juga diikuti oleh Bank Indonesia. Tapi kali ini berbeda, kenaikan suku bunga dari The Fed ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga BI.

"Faktornya banyak, karena menaikan suku bunga secara agresif dapat berdampak pada pinjaman konsumen yang akan jauh lebih mahal dan akan mengganggu pemulihan konsumsi domestik. Selain itu, banyak industri yang juga akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga tersebut,” jelas Bhima dalam keterangan tertulis, Selasa(15/8/2023).

Lebih jauh, roda ekonomi Indonesia lebih terhubung dengan pergerakan China ketimbang AS, sehingga kenaikan suku bunga The Fed tidak secara otomatis mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Karena Tiongkok adalah salah satu negara asal investasi yang terbesar, dan mitra investasi Indonesia. Kedua, mereka adalah mitra dagang. Kita ekspor ke Tiongkok itu bisa seperempat dari total ekspor Indonesia, kira-kira sekitar 25% kita kirim ke Tiongkok, dan itu tentu sangat mempengaruhi,” tuturnya.

Bahkan Bhima kembali menjelaskan dengan mengambil riset sebuah studi, bahwa setiap satu persen penurunan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat, pengaruhnya ke Indonesia hanya 0,01%. Namun jika ekonomi Tiongkok turun 1% saja dalam PDB mereka, maka imbas ke Indonesia bisa mencapai 0,3%.

“Jadi kita lebih sensitif dengan ekonomi Tiongkok. Sehingga kenaikan suku bunga AS belum tentu berdampak langsung ke capital market maupun surat utang di Indonesia, setidaknya dalam jangka waktu yang dekat,” tambahnya.

 

2 dari 3 halaman

Tantangan yang Harus Diwaspadai

Meski fundamental ekonomi nasional kuat, Bhima menyatakan bahwa pada tahun depan Indonesia perlu mewaspadai gejolak ekonomi yang akan terjadi.

Semester II 2023 dan 2024 akan banyak dinamika yang terjadi. The Fed tetap penting untuk diperhatikan tapi mesti ditambah dengan faktor-faktor lainnya sehingga Indonesia bisa mitigasi beberapa risiko.

Inflasi di Indonesia saat ini masih bisa ditahan, cadangan devisanya masih bagus, suku bunga pun masih bisa ditahan, tapi kalau Amerika suku bunganya masih terus 5,25%, maka Indonesia harus tawarkan bunga tinggi juga.

"Karena bila ada penyesuaian jangka panjang, kasihan industri karena suku bunga pinjaman juga akan menjadi mahal dan pengaruhnya juga pada penyaluran pertumbuhan kredit perbankan dan berdampak pada imbal hasil yang harus ditawarkan oleh berbagai instrumen investasi di Indonesia,” katanya.

Bhima meyakini ekonomi kuartal III 2023 nanti akan banyak tantangan yang mesti diwaspadai, terutama mengenai ketidakseimbangan antara pendapatan dan kebutuhan.

Di kuartal III ini, ada kebutuhan yang terus meningkat, meskipun inflasi kita terbilang cukup baik dan terkendali bahkan agak sedikit menurun, tapi yang perlu diketahui di kuartal II adalah ini tidak ada momen musiman dimana masyarakat bergerak untuk berwisata secara masif, itu tantangannya.

"Di kuartal III biasanya belanja pemerintah mulai meningkat tetapi belum setinggi di kuartal IV. Meski begitu, kemungkinan pertumbuhan pada kuartal III berada pada kisaran 4,9%,” katanya.

 

3 dari 3 halaman

Investor Harus Bersabar

Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna, Benny Sufami memprediksi situasi ekonomi global saat ini tidak memberikan tekanan yang signifikan bagi ekonomi domestik di Indonesia. Hal itu didapati karena fakta bahwa ekonomi nasional pada kuartal II sangat baik, khususnya angka PDB Indonesia yang berada di atas 5% dengan tren inflasi yang relatif stabil, yang tentunya menunjukan sentimen positif.

“Berdasarkan data riset yang Tumbuh Makna peroleh, ekonomi kuartal II 2023 PDB kita 5,17%. IMF menyatakan bahwa maksimal pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan bertumbuh maksimal 3%, itu sudah cukup bagus bagi ekonomi domestik kita. Itu sudah cukup baik di tengah kondisi tekanan ekonomi global. Kedua, data inflasi awal bulan sudah diumumkan, dan hasilnya inflasi harga konsumen lebih rendah dari kuartal sebelumnya yakni dari 3,52% ke 3,08% (yoy),” katanya.

Untuk itu, pada kondisi seperti ini, Benny melihat masih terdapat peluang investasi yang sangat menarik.

“Untuk peluang, kami melihat ada di pasar saham dan pasar obligasi, valuasinya juga masih sangat menarik. Tantangannya adalah investor hanya perlu lebih bersabar. Sebab kita lihat di semester I, Indeks Harga Saham Gabungan stagnan, sementara di semester kedua ini lah kami melihat akan sangat menarik.” ujarnya.