Liputan6.com, Jakarta Harga gas untuk industri direncanakan mengalami kenaikan per 1 Oktober 2023. Kenaikan harga gas industri ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor pemicu.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, salah satu faktor kenaikan harga gas Industri di luar kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (non-HGBT) adalah harga jual gas dari sumur atau hulu, hal tersebut memiliki peran besar dalam pembentukan harga gas yang dijual ke konsumen.
Baca Juga
"Kalau komponen terbesar itu 70-75 persen itu harga hulu, kemudian baru ada biaya transportasi, distribusi," kata Komaidi, di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Menurut Komaidi penyebab kenaikan harga jual gas di sisi hulu adalah semakin sulitnya letak sumur gas, sehingga membuat biaya operasi untuk memproduksi gas meningkat.
Advertisement
"Lokasi lapangan gasnya semakin terpencil dan biaya operasi semakin tinggi otomatis menyesuaikan harga, berujung badan usaha terpaksa melakukan penyesuaian harga juga," ucapnya.
Komaidi melanjutkan, faktor lain yang membaut harga gas naik adalah produksi sumur yang mengalami peneurunan sementara biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan produksi gas tetap, untuk menghindari kerugian makan menaikan harga gas menjadi pilihan.
"Misal Mahakam produksinya turun, tapi biaya operasional tetap maka itu harga," imbuhnya.
Faktor Lain
Komaidi mengungkapkan, faktor lain yang memicu kenaikan harga gas ke konsumen industri adalah pencampuran LNG dengan gas pipa, namun hal tersebut tidak berperan besar dalam memicu kenaikan harga gas.
"Untuk saat ini yang menyumbang kenaikan harga paling besar hulu ya, karena LNG di campur gas pipa itu belum banyak," imbuhnya.
Kebijakan kenaikan harga gas tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Kenaikan Harga Gas
Dikutip dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023, kebijakan kenaikan harga gas berlaku 19 Mei 2023. Akan ada penyesuaian perjanjian jual beli harga gas yang mengalami perubahan antara konsumen dan produsen.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, kenaikan harga gas industri disebabkan oleh kenaikan biaya operasi sumur gas. Kondisi ini menyulitkan pemerintah untuk memotong besaran biaya agar lebih efisien.
"Kalau biaya besar otomatis kita juga enggak bisa potong juga lebih banyak," kata Tutuka di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Menurut dia, kenaikan harga gas untuk industri dialami oleh industri yang sumber gasnya berasal dari sumur yang semakin tua sehingga biaya operasinya meningkat.
"Masing-masing lapangan (migas) itu kan kondisinya lapangan yang makin tua itu biayanya lebih besar kan," jelas Tutuka.
Advertisement
Harga Gas Murah Bikin Negara Boncos, Evaluasi Perlu Dipercepat
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan evaluasi industri yang mendapat insentif harga gas murah sebesar USD 6 per MMBTU. Evaluasi ini dilakukan untuk menimbulkaan keadilan.
Soal harga gas murah ini, Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin meminta pemerintah untuk segera merealisasikan evaluasi tersebut.
“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” tegas , ditulis Jumat (11/8/2023).
Eddy menambahkan program harga gas murah ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.
Penerimaan Negara Berkurang
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu.