Sukses

Ajak Warganya Ngutang, Bank Sentral China Turunkan Suku Bunga jadi 3,45 Persen

Untuk menghidupkan kembali perekonomian, bank sentral China menurunkan suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) ke lembaga keuangan Selasa lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral China pada Senin (21/8/2023) memangkas suku bunga utama, di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi pasca-COVID-19 di negara ekonomi terbesar kedua di dunia.

Melansir Channel News Asia, Senin (21/8/2023) People’s Bank of China atau Bank Sentral China menurunkan suku bunga dasar pinjaman dari 3,55 persen menjadi 3,45 persen, sementara acuan untuk hipotek dipatok menjadi 4,2 persen. 

Keputusan memangkas suku bunga tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank komersial untuk memberikan lebih banyak pinjaman dengan tingkat yang lebih menguntungkan.

Langkah-langkah People’s Bank of China memang berbeda dengan kenaikan suku bunga di seluruh dunia karena negara ekonomi besar lainnya bekerja untuk mengekang inflasi - secara tidak langsung akan mendukung kegiatan ekonomi karena pertumbuhan China melemah.

Pemulihan pasca-COVID-19 yang telah lama ditunggu setelah pencabutan lockdown pada akhir tahun 2022 telah kehabisan tenaga dalam beberapa bulan terakhir.

Untuk menghidupkan kembali perekonomian, bank sentral China menurunkan suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) ke lembaga keuangan Selasa lalu.

Keputusan bank sentral tersebut datang menyusul krisis yang dihadapi oleh raksasa properti Country Garden, yang telah lama dianggap sehat secara finansial dan sekarang memiliki banyak utang, menimbulkan kekhawatiran akan kebangkrutan yang dapat menimbulkan konsekuensi bagi sistem keuangan domestik.

Masalah utang Country Garden terjadi hanya dua tahun setelah keruntuhan pesaingnya, Evergrande.

2 dari 4 halaman

Morgan Stanley Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China jadi 4,7 Persen di 2023

Sebelumnya, Morgan Stanley memangkas ramalannya pada pertumbuhan ekonomi China di tahun ini, menyusul serentetan data perlambatan di negara tersebut dan kekhawatiran atas sektor properti.

Mengutip Channel News Asia, Jumat (18/8/2023) Morgan Stanley sekarang melihat produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 4,7 persen tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 5 persen, menurut sebuah catatan. 

Bank yang berbasis di Wall Street itu juga telah menurunkan perkiraan PDB China tahun 2024 menjadi 4,2 persen dari semula 4,5 persen.

Awal pekan ini, J.P.Morgan memangkas perkiraan pertumbuhan PDB China 2023 menjadi 4,8 persen dari 5 persen sebelumnya, sementara Barclays memangkasnya menjadi 4,5 persen.

Sementara itu, China masih menetapkan target pertumbuhan sekitar 5 persen untuk tahun ini.

Morgan Stanley menurunkan perkiraan menjadi "faktor dalam perlambatan belanja modal (belanja modal) yang lebih curam di tengah penurunan utang di sektor properti dan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV), dengan efek lanjutan pada konsumsi," kata ekonom yang dipimpin oleh Robin Xing dalam catatan Morgan Stanley.

Seperti diketahui, sektor properti China telah bergulat dengan krisis likuiditas sejak akhir 2021, ketika China Evergrande Group anjlok dan memicu serangkaian gagal bayar utang.

Kekhawatiran pada dampak menyebar ke pengembang swasta terbesar di negara itu, Country Garden, dan manajer aset Zhongzhi Enterprise Group menyatakan sedang menghadapi krisis likuiditas dan akan melakukan restrukturisasi utang.

"Kekhawatiran tentang salah alokasi dapat membuat respons kebijakan awal ragu-ragu, memperburuk lingkaran utang/deflasi," jelas Morgan Stanley.

3 dari 4 halaman

Ekonomi China Lesu Bakal Bebani Prospek Pertumbuhan Global

Selama lebih dari serempat abad, China identik dengan Pembangunan tanpa henti dan mobilitas. 1,4 miliar penduduk China semakin menyukai barang global yakni film Hollywood, barang elektronik Korea Selatan, dan bijih besi yang ditambang dari Australia.

Ekonomi global didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi yang tampaknya tidak ada habisnya. Saat ini, mesin itu tergagap-gagap menimbulkan risiko yang mengkhawatirkan bagi rumah tangga China dan ekonomi global. Demikian dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (13/8/2023).

China lama menjadi inti globalisasi yang meningkatkan keuntungan, dan kini beralih ke kartu liar terakhir saat ketidakpastian luar biasa bagi ekonomi global.

Risiko ini telah diperkuat dalam beberapa minggu terakhir dengan sejumlah perkembangan. Ekonomi China melambat sehingga meredakan harapan ekspansi yang kuat setelah pencabutan COVID-19 yang ekstrem.

Pekan ini membawa data yang menunjukkan ekspor China telah menurun selama tiga bulan berturut-turut, sementara impor susut selama lima bulan berturut-turut, indikator lain dari prospek yang lesu.

Kemudian datang berita harga telah turun dari berbagai barang mulai dari makanan hingga apartemen meningkatkan momok China berada di ambang apa yang disebut deflasi atau penurunan harga yang berkelanjutan, pertanda aktivitas komersial yang lesu.

Sebagai tanda tekanan yang semakin mendalam di pasar properti China. Persimpangan antara keuangan, konstruksi dan kekayaan rumah tangga, pengembang real estate Country Garden melewatkan pembayaran obligasi dan perkirakan kerugian hingga USD 7,6 miliar pada semester I 2023.

4 dari 4 halaman

Perlambatan China Berdampak terhadap Ekonomi Global

Bagi pekerja dan rumah tangga China, peristiwa ini menambah masalah. Di seluruh dunia, melemahnya ekonomi China menandakan menyusutnya permintaan barang-barang utama mulai dari kedelai dari Brasil hingga daging sapi Amerika Serikat, hingga barang mewah buatan Italia. Hal ini juga dapat pengaruhi permintaan untuk minyak, tambang mineral dan bahan bangunan industri lainnya.

“Perlambatan di China pasti akan membebani prospek ekonomi global. Karena China sekarang menjadi konsumen komoditas nomor pertama di dunia, dampaknya akan cukup besar,” ujar Ekonom Macquarie Larry Hu yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Yahoo Finance, dari New York Times.

Kontribusi Ekonomi China

Selama dekade terakhir, China telah menjadi sumber lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi global, dibandingkan Amerika Serikat sebesar 20 persen dan 9 persen dari 20 negara yang memakai euro, demikian analisis terbaru dari BCA Researh.

Yang menambah kekhawatiran adalah meluasnya pemahaman kalau otoritas China terbatas dalam pilihan mereka untuk kembali hidupkan ekonomi, mengingat utang yang menumpuk sekarang diperkirakan mencapai 282 persen dari output nasional, lebih banyak dari Amerika Serikat.