Liputan6.com, Jakarta Proses harmonisasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan 50/2020, yang bertujuan menahan laju impor langsung dalam platform (cross border), diperkirakan tidak akan tuntas dalam waktu dekat.
Draft regulasi yang sebelumnya sudah disepakati oleh kementerian/lembaga terkait dikabarkan berubah lagi menyusul adanya rencana penyusunan positive list, atau daftar barang-barang impor yang diperbolehkan untuk dijual di platform dagang elektronik.
Baca Juga
Artinya barang-barang yang ada di dalam positive list boleh masuk ke Indonesia melalui mekanisme impor langsung dalam platform atau cross border.
Advertisement
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan penerapan positive atau negative list ini bisa digunakan dalam hal apa saja yang berhubungan dengan pihak luar negeri.
"Saya tidak mendukung positive list. Bisa saja barangnya ada di Indonesia tapi pemerintah memasukkan ke positive list karena supply-nya masih kurang," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (21/8/2023).
"Sebagai regulasi positive list lemah dan tak efektif. Sebagai contoh barang yang belum bisa diproduksi dalam negeri boleh dibeli melalui skema cross border commerce karena masuk positive list, itu pasti menyebabkan banjirnya produk impor dan kecil peluang bagi pelaku dalam negeri untuk memproduksi dari dalam negeri," lanjut dia.
Positive List Kurang Efektif
Menurutnya positive list kurang efektif untuk mengurangi barang cross border commerce. Harusnya benar cross border commerce harus ditutup untuk barang dengan tingkat harga tertentu kalo mau ngurangin produk impor.
“Selain tantangan dalam pengawasan, positive list juga berpotensi untuk melemahkan UMKM yang memproduksi barang-barang di dalam positive list. Harga minimal USD 100 tidak akan berpengaruh kepada para UMKM tersebut dan terancam sulit berkompetisi dengan barang impor cross border yang jauh lebih murah,” kata dia.
Dengan demikian, jika positive list akan tetap dijalankan, maka revisi Permendag 50/2020 tidak akan maksimal untuk membendung laju impor cross border yang telah menekan UMKM Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Pembatasan USD 100 tetap menjadi pilihan terbaik untuk terus mendukung perkembangan UMKM Indonesia.
Teten Masduki soal Revisi Permendag 50/2020: Tak Setuju Ada Positive List
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Mikro (UKM), Teten Masduki menyatakan ketidaksetujuan atas usulan Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal adanya positive list atau barang-barang yang tidak diproduksi dalam negeri dengan harga dibawah USD 100.
Hal ini menjadi usulan Kemendag dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklnan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
"Saya nggak setuju kalau dibikin positive list," kata Teten Masduki kepada Media, Senin (14/8/2023).
Teten menyebut, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya pemerintah mendorong hirilisasi di dalam negeri, sehingga lapangan kerja di dalam negeri cukup besar serta meminimalisir angka pengangguran.
"Karena itu kan belanja pemerintah kebijakan subsitusi impor untuk belanja pemerintah juga sudah diterapkan harus membeli produk dalam negeri. Harusnya bikin (produksi) di dalam negeri, kita butuh lapangan kerja yang cukup besar, kita banyak angka pengangguran , jadi itu harus dipahami oleh seluruh para menteri," terangnya.
Advertisement
Poin Perubahan
Dalam revisi Permendag 50, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) membeberkan ada banyak kebijakan revisi dalam Permendag tersebut, salah satunya terkait izin dan pajak untuk marketplace, platform digital dan yang lainnya. Serta berencana adanya larangan barang impor langsung yang harganya di bawah USD 100 atau Rp 1,5 juta.
Dalam program kebijakan substansi impor, lanjut Teten, untuk belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah harus membeli produk lokal sebesar 40 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), hal itu dilakukan agar produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terlindungi.
"Kita tidak menjadi negara tertutup kalau seakrang kita masih impor mereka bisa bikin di sini (Indonesia), jadi kebijakan investasi gitu," tuturnya.