Sukses

Ada Oknum Bank Jual Data Pribadi Nasabah, Menkominfo: Kita Denda!

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, mengungkapkan terdapat oknum di sebuah bank yang dengan sengaja menjual data pribadi nasabahnya. Namun, bank tersebut telah mendapatkan sanksi denda.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, mengungkapkan terdapat oknum di sebuah bank yang dengan sengaja menjual data pribadi nasabahnya. Namun, bank tersebut telah mendapatkan sanksi denda.

"Dua hari yang lalu saya tandatangan ada beberapa bank saya tidak mau sebutin ya, kita denda, karena dia membocorkan data pribadi nasabah," kata Budi Arie dalam webinar Kominfo dengan tema 'Melawan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital' Senin (21/8/2023).

Menurutnya, perilaku yang dilakukan bank tersebut merupakan tindakan ilegal lantaran membocorkan sekaligus menjual data pribadi nasabah untuk kepentingan pribadi.

"Ada satu bank, saya nggak usah sebutin banknya, kita tandatangan, kita suratin kita denda. Karena mereka membocorkan data nasabahnya untuk dijual dan saya yakin itu ilegal. Maksudnya, ini datanya misalnya ada sekian, 10 juta nasabah dijual itu udah, jadi komoditas itu, jadi oknum-oknum di perusahaan itu," jelasnya.

Data Pribadi Nasabah

Padahal data pribadi nasabah itu merupakan hal yang berharga. Seharusnya pihak bank harus bisa menjaga keamanannya agar tidak bisa bocor apalagi dijual.

"Jadi, yang berharga ini bukan emas, bukan berlian, data itu komoditas yang mahal, apalagi perkembangan artificial intelligence ke depan, data luar biasa," katanya.

Oleh karena itu, Kominfo dan lintas Kementerian Lembaga terus berkolaborasi untuk memberantas kejahatan dibidang digital, termasuk mencegah terjadinya jual beli data nasabah diperbankan.

"Kolaborasi ini harus terus-menerus lintas Kementerian lembaga untuk mengurangi kejahatan di bidang digital, karena kemajuan teknologi digital kejahatannya pun makin canggih makin kompleks makin dasar," pungkas Budi Arie Setiadi.

2 dari 3 halaman

Orang Indonesia Rugi Rp 139 Triliun Akibat Investasi Ilegal, OJK: Masyarakat Belum Smart

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat selama periode tahun 2017 sampai 2022, kerugian masyarakat akibat entitas investasi ilegal dan kegiatan usaha tanpa izin lainnya diestimasikan mencapai Rp 139,04 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi, menilai kerugian tersebut diakibatkan masyarakat yang belum begitu pintar dalam memilih entitas investasi maupun pinjaman online legal.

"Nah, jadi masyarakat itu belum begitu smart dalam memilih dan memilah. Ini sangat mengerikan. Dari angka (lebih) Rp 139 triliun kerugian masyarakat tadi itu ada beberapa, ada KSP Indosurya, pinjol, investasi ilegal dan gadai ilegal," kata Friderica dalam webinar Kominfo "Melawan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital", Senin (21/8/2023).Menurutnya, kejahatan disektor keuangan digital itu sangat luar biasa. Lantaran, yang terkena bukan masyarakat menengah kebawah saja, melainkan juga masyarakat menengah ke atas.

"Ini luar biasa kejahatannya dan korbannya pun luar biasa. Dan tidak cuman masyarakat kelas bawah yang terkena itu. Terutama investasi ilegal, ini ada yang disebut casino mentality. Jadi, mental orang berjudi dalam setiap hal dia ingin cepat kaya dan tidak mikir resikonya, akhirnya kejeblos," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Fenomena FOMO

Selain itu, adanya fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang berarti kecemasan jika kehilangan momen atau informasi. Biasanya yang FOMO itu mudah terbuai dengan keuntungan besar tanpa memperdulikan resiko.

"Terus ada fenomena FOMO anak muda, terutama yang menyebabkan kenapa sih ini sangat menjamur sedemikian pesat," ujarnya.

Perempuan yang disapa Kiki ini menyebut, maraknya kejahatan disektor keuangan digital juga dipengaruhi oleh indeks literasi keuangan di Indonesia yang masih rendah yakni di angka 49,68 persen.

"Tingkat literasi keuangan yang belum tinggi, literasi keuangan saat ini sekitar 49,6 persen, kalau literasi digital baru sekitar 3,5 dari skala 1 sampai 5. Artinya masyarakat belum pinter-pinter banget, portalnya sudah kebuka, tapi dia belum bisa membedakan manasih informasi yang bener dan gak bener," pungkasnya.