Sukses

Subsidi BBM dan LPG Timbulkan Kesenjangan pada Pembiayaan Energi Bersih

Pembiayaan pemerintah pada energi bahan bakar fosil mencapai 94,1 persen dari tahun 2016 hingga tahun 2020. Sedangkan untuk energi terbarukan hanya menyentuh 0,94 persen.

Liputan6.com, Jakarta - International Institute of Sustainable Development (IISD) mengungkapkan beberapa faktor pentingnya pergeseran dukungan dalam pendanaan untuk transisi energi di Indonesia.

Analis Kebijakan Energi IISD, Anissa Suharsono mengatakan, aliran keuangan publik harus menjadi yang pertama bergerak karena langsung dikendalikan oleh pemerintah dan dapat mempengaruhi aliran keuangan swasta yang jauh lebih besar.

IISD memperkirakan, biaya yang diperlukan secara keseluruhan untuk  transisi energi di Indonesia pada tahun 2025 akan melebihi biaya yang ditargetkan sebesar USD 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. 

"Karena pertanyaannya, apakah semua biaya itu akan seratus persen bergantung dari dana internasional atau Granz. Atau dari sumber pendanaan lain yang bisa dieksplorasi dari pendanaan publik karena kendalinya langsung dari pemerintah," ujar Anissa dalam acara Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah pada Senin (21/8/2023). 

Sebagai contoh, pendanaan publik itu meliputi subsidi, insentif, tindakan dukungan, investasi oleh badan usaha milik negara (BUMN), atau  pinjaman dari lembaga keuangan publik.

"Mengalihkan dukungan publik dari bahan bakar fosil ke energi bersih adalah salah satu cara untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan energi bersih," ungkap Anissa. 

"Ini mengirimkan sinyal yang jelas bahwa dalam jangka pendek, ini membantu mengurangi risiko bagi investor swasta, dan mendorong investasi di proyek proyek energi bersih," paparnya.

Sementara dalam jangka menengah, pengalihan dalam pendanaan publik juga bisa mempromosikan pembelajaran sambil melakukan, membantu secara permanen mengurangi persepsi risiko dan meningkatkan volume yang lebih besar dari pembiayaan swasta pada upaya transisi energi yang sedang berlangsung.

Hitungan analis di IISD mencatat, pembiayaan pemerintah pada energi bahan bakar fosil mencapai 94,1 persen dari tahun 2016 hingga tahun 2020. Sedangkan untuk energi terbarukan hanya menyentuh 0,94 persen.

2 dari 2 halaman

Subsidi Energi Tak Tepat Sasaran

Anissa pun menjelaskan beberapa faktor yang menjadikan subsidi bahan bakar fosil penghalang untuk energi terbarukan. 

Faktor pertama, dia menyebut, subsidi menciptakan insentif untuk terus memproduksi dan mengkonsumsi lebih banyak bahan bakar fosil.

"Selain itu,  besarnya subsidi yang diberikan kepada bahan bakar fosil juga menciptakan kondisi yang tidak adil ke energi bersih. Karena banyaknya bantuan, insentif, hal itu memunculkan kesan kalau hendak berinvestasi di sektor bahan bakar fosil akan jauh lebih mudah, menguntungkan, dan jauh lebih menarik dibandingkan sektor energi bersih," jelasnya. 

Tak hanya itu, subsidi bahan bakar fosil juga kerap tak tepat sasaran, yang seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

"Subsidi energi juga sering kali sulit dikendalikan. Karena bahan bakar fosil berhubungan dengan komoditas, maka harganya sulit sekali dikontrol. Pada tahun 2022 saja, biaya yang diambil untuk subsidi energi sudah melonjak dari yang sebelumnya dianggarkan. Jadi mungkin sudah saatnya anggaran sebesar itu dievaluasi kembali, bisa digunakan lebih efisien untuk pelayanan masyarakat di sektor lain," papar Anissa.