Sukses

42,3 Persen Netizen Yakin Polusi Udara Jakarta Gara-Gara PLTU Batu Bara, Benarkah?

42,3 persen masyarakat di media sosial menganggap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai kontributor utama polusi udara di Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Analisis yang dilakukan oleh Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan 42,3 persen masyarakat di media sosial menganggap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai kontributor utama polusi udara di Jakarta.

Data dari analisis Continuum INDEF juga menunjukkan, 9.500 masyarakat di media sosial yang diamatinya menganggap energi sebagai sektor yang dianggap sebagai penyumbang polusi udara tertinggi di Jakarta.

"Sebagai disclaimer, data ini bukan didapat dari analisa kondisi udara di Jakarta, melainkan analisa terhadap opini masyarakat. Jadi untuk melihat menurut masyarakat itu sebenarnya penyebab polusi di Jakarta karena apa sih, bukan berarti ini pasti karena sektor energi," jelas Data Analyst Continuum INDEF Maise Sagita, dalam Diskusi Publik Continuum INDEF, yang disiarkan secara daring pada Selasa (22/8/2023).

Adapun 3.600 masyarakat di media sosial yang menganggap transportasi sebagai sektor penyumbang polusi tertinggi, diikuti oleh industri, peristiwa kebakaran, dan kemarau.

Kemudian ada 20,9 persen masyarakat di media sosial yang menganggap kualitas udara di Jakarta sudah sangat buruk, dan jauh melampaui batas.

Sebagai informasi, INDEF melakukan analisis pendapat masyarakat di media sosial, media dan buzzer free.

Analisis ini mengumpulkan pendapat dari 44,268 pembicaraan, 35.590 akun media sosial,dan 85 persen pembicaraan berada di Pulau Jawa.

Analis pendapat masyarakat yang dilakukan pada periode 21 Juli hingga 20 Agustus 2023 itu mencakup analis eksposur perbincangan, analisis sentimen, dan analisis topik perbincangan.

2 dari 3 halaman

Pakai Teknologi Ini, PLN IP Jamin PLTU Tak Boros Emisi Penyebab Polusi Udara

Sub Holding Pembangkitan PLN Indonesia Power (PLN IP) mendukung penuh langkah pemerintah dalam menekan polusi udara pada sektor kelistrikan, dengan menerapkan berbagai teknologi ramah lingkungan guna mengurangi emisi dari pembangkit berbasis batubara.

Direktur Utama PLN IP Edwin Nugraha Putra menjelaskan, mengoperasikan pembangkit, pihaknya menjunjung tinggi prinsip Enviromental, Social and Governance (ESG) sehingga PLN IP sangat memperhatikan emisi gas buang dari pembangkit.

"Selama PLTU atau PLTGU beroperasi, kami selalu berupaya tekan emisinya semaksimal mungkin, serta dimonitor secara realtime terhubung langsung dengan dashboard Kementerian LHK," kata Edwin, di Jakarta, Senin (21/8/2023).

Edwin menambahkan, operasional PLTU PLN IP telah dilengkapi dengan teknologi ramah lingkungan termutakhir Electrostatic Precipitator (ESP) dan Continous Emission Monitoring System (CEMS), untuk memastikan emisi gas buang dari operasional pembangkitan ditekan semaksimal mungkin.

Perlu diketahui, CEMS merupakan teknologi yang digunakan untuk memantau emisi pembangkit secara terus menerus. Sehingga emisi yang keluar dari cerobong dapat dipantau secara real time dan dipastikan tidak melebihi baku mutu udara ambien yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di kawasan Jabodetabek, seluruh pembangkit PLN IP mulai dari PLTU Suralaya 1-7, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Priok, PLTU Labuan, PLTU Lontar, dan PLTU Suralaya 8 telah dilengkapi CEMS.

 

3 dari 3 halaman

Teknologi Ramah Lingkungan

Sementara ESP merupakan teknologi ramah lingkungan pada PLTU yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang yang didesain mampu menyaring dan menangkap debu dengan ukuran sangat kecil (<2 micrometer) hingga 99,9 persen, serta teknologi ramah lingkungan pengendali polutan lainnya (NOx dan SOx).

Seluruh pembangkit PLN IP yang ada di sekitar Jabodetabek telah memakai teknologi ESP yaitu PLTU Suralaya 1-7, PLTU Lontar, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Labuan dan PLTU Suralaya 8.

"Berbagai upaya yang dilakukan PLN IP di atas berhasil memperbaiki kualitas udara ambien di sekitar lokasi pembangkit di Jakarta dan Banten. Parameter PM 2.5 di sekitar lokasi pembangkit menunjukkan tren yang cenderung menurun dan masih di bawah Baku Mutu Ambien (BMA) yang ditetapkan pemerintah," tutur Edwin.