Liputan6.com, Jakarta Undang-undang Eropa yang bernama 'EU Deforestation Regulation', atau EUDR dinilai menghambat perdagangan produk-produk tertentu dari Indonesia, yaitu kopi, kakao, kayu dan karet, termasuk ternak dan turunannya, hingga kelapa sawit.
Kendati demikian, Akademisi dan Ketua LPEM UI dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengungkapkan, banyak negara-negara Uni Eropa yang ternyata berinvestasi di Indonesia di sektor perkebunan sawit.
Baca Juga
"Data BKPM tahun 2022, investasi terbesar pada tanaman pangan perkebunan dan peternakan, ini enggak ada breakdown khusus sawitnya. Saya yakin dalam investasi Tanaman Pangan Perkebunan dan Peternakan (TPPP) terbesar di sawit," kata Eugenia Mardanugraha dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Kamis (24/8/2023).
Advertisement
Berdasarkan data paparannya, terdapat lima negara Uni Eropa yang berinvestasi paling besar di sektor TPPP di Indonesia. Pertama, adalah Belgia dengan nilai investasi USD 41,8 juta atau 57 persen dari total investasinya di Indonesia mencapai USD 73,1 juta.
Negara kedua yakni Austria, total investasi di sektor TPPP mencapai USD 8,1 juta atau 12 persen dari total investasi di Indonesia. Kemudian, urutan ketiga, ada negara Luxemburg dengan nilai investasinya mencapa USD 7 juta atau 10 persen dari keseluruhan investasinya di Indonesia.
Negara keempat adalah Belanda. Nilai investasi di sektor TPPP-nya mencapai USD 2,9 juta atau 0,2 persen dari keseluruhan investasi. Negara terakhir, yaitu Slovenia dengan nilai investasinya sebesat USD 1,5 juta atau 42 persen dari keseluruhan investasi.
Euginia
Lebih lanjut, Euginia pun mensinyalir kalau EUDR adalah satu proses 'politik dagang' dari negara eropa.
"Mungkin negara Uni Eropa yang 27 negara itu bagi tugas. Kalau Belanda menguasai pasarnya saja, tapi yang bertugas investasi di kebun sawit Indonesia itu Slovenia," katanya.
Anehnya, justru saat ini harga acuan sawit internasional salah satunya mengacu pada harga Rotterdam. Padahal, jika dilihat kembali Belanda bukanlah negara produsen sawit. Belanda hanya negara perdangan perantara. "Mereka juga mungkin dalam melancarkan regulasi UE-DR dan segala macam, itu mereka sendiri sebetulnya sudah bagi-bagi tugas," pungkasnya.
Investasi Energi Terbarukan ASEAN Diramal Sentuh Rp 1,1 Kuadriliun di 2025
Analisis dari perusahaan studi energi independen, Rystad Energy memprediksi investasi energi terbarukan di Asia Tenggara akan mencapai USD 76 miliar atau sekitar Rp. 1,1 kuadriliun pada tahun 2025.Â
Rystad Energy melihat, perusahaan minyak nasional (NOC) di sejumlah negara Asia Tenggara dan pemain hulu tradisional semakin fokus pada inisiatif energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
"Tren peningkatan ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan perkiraan total pengeluaran sebesar USD 119 miliar pada akhir tahun 2027. Pengeluaran ini akan didorong oleh investasi pada proyek pembangkit listrik tenaga angin, tenaga surya, dan panas bumi," ungkap Rystad Energi yang bermarkas di oslo, Norwegia dalam keterangan tertulis pada Selasa (22/8/2023).
Afiqah Mohd Ali, analis rantai pasokan senior di Rystad Energy mengatakan bahwa sia Tenggara secara historis mengalami kemajuan yang lebih lambat dalam pengembangan proyek energi ramah lingkungan.
"Kolaborasi yang efektif antara sektor swasta dan pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan di kawasan ini," katanya.
"Asia saat ini sedang membuat kemajuan signifikan dalam memprioritaskan peralihan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, didukung oleh fokus baru NOC. Pendekatan strategis ini akan sangat penting dalam mendorong transisi Asia Tenggara menuju energi berkelanjutan," ujar Afiqah.
Pertamina
Rystad Energy menyoroti BUMN di sektor energi Indonesia, yakni Pertamina, yang memperluas partisipasi mereka dalam geothermal.Â
Sementara Petronas dari Malaysia membangun kehadiran penting di pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS). Petronas mengumumkan rencana ambisius untuk membangun fasilitas khusus terbesar di dunia pada tahun 2025, dan secara aktif menjalin kemitraan dengan entitas internasional untuk membuka potensi proyek regional.
Advertisement
Investasi Independent Power Producers (IPPs) di Asia Tenggara
Rystad Energy menyoroti langkah Pertamina Geothermal Energy (PGE) dalam memimpin di antara para pesaingnya untuk pengeluaran rendah karbon.
Dedikasi PGE terhadap perluasan proyek panas bumi ditunjukkan melalui investasinya sebesar USD 1,6 miliar antara tahun 2023 dan 2026, yang secara aktif berkontribusi terhadap pertumbuhan kapasitas panas bumi Indonesia.
Selain itu, perusahaan besar global seperti Shell dan ExxonMobil juga menunjukkan minat terhadap prospek rendah karbon di Asia Tenggara.
Namun, investasi jangka pendek mereka masih berfokus pada Eropa dan Amerika Utara.