Sukses

Dilema Bank Hadapi Nasabah, Dijelasin Aturan Lengkap Dibilang Ribet Tapi Dikasih Singkat Dianggap Tak Transparan

merebaknya kasus pinjol terbentur oleh masalah kultural dan edukasi yang ada. Contohnya seperti orang yang membeli handphone baru tapi abai untuk membaca manual guide book.

Liputan6.com, Jakarta Rendahnya literasi membaca dan literasi keuangan masih jadi akar dari maraknya kasus pinjol (pinjaman online) ilegal saat ini. Sektor perbankan pun kebingungan mencari cara edukasi agar masyarakat bisa memperoleh uang pinjaman dari cara yang legal.

EVP Head of Marketing & Lifestyle Business OCBC NISP Amir Widjaya menilai, merebaknya kasus pinjol terbentur oleh masalah kultural dan edukasi yang ada. Sebagai contoh, ia menyoroti konsumen yang membeli handphone baru, tapi kerap abai untuk membaca manual guide book.

"Kita sering dapat komplain nasabah, kok ini begini produknya. Padahal udah dijelasin terkait ketentuannya. Kalau mau diperlengkap lagi kita perpanjang lagi tulisannya, tapi habis itu ngomel juga ke kita," kata Amir kepada media di OCBC NISP Premium Guest House KCP ON Space, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (25/8/2023).

"Jadi kita bingung, karena kalau lengkap dianggap ribet. Dikasih singkat dianggap, kok enggak transparan. Padahal ujung-ujungnya enggak dibaca. Gimana toh," dia menambahkan.

Menurut dia, akar masalah kasus pinjol sebenarnya lebih besar daripada itu. Lebih dari sekadar memang pinjol sedang agresif, tapi juga edukasi membaca dan finansial perlu ditingkatkan.

"Jadi memang perlu ditingkatkan budaya membaca dan edukasi finansial. Edukasi finansial pun kalau kita lihat di sekolah, saya ingat banget sampai sekarang, kalau disuruh hafal rumus trigonometri mungkin bisa kan ya," ungkapnya.

"Tapi kalau ditanya, nak, uang jajan kamu gimana. Kamu rencana mau beli apa bulan ini, uang jajan kamu terkumpul berapa, belum tentu dia bisa jawab," ujar Amir.

Amir menganggap pembelajaran soal pengelolaan keuangan sedari dini masih jadi suatu hal tabu. Tidak hanya di sekolah, pihak orang tua juga terkadang menganggap sepele hal tersebut.

"Si anak udah bisa belajar berbagai macam rumus matematika, tapi ibu guru di sekolah, bapak/ibunya pun belum pernah berdiskusi soal itu, karena keuangan masih tabu. Atau mungkin yaudah lah, kamu sekolahnya yang pinter, bapak yang akan kerja keras, bapak aja yang menabung semua. Tidak perlu tahu kamu betapa berat hidupnya ini, yang penting kamu nilainya bagus," pungkasnya.

2 dari 3 halaman

OJK Blusukan ke Pelosok Desa Buat Hajar Rentenir hingga Pinjol Ilegal

Sebelumnya, bukan rahasia lagi banyak masyarakat di pelosok desa yang terjerat rentenir hingga pinjaman online ilegal (pinjol ilegal). Untuk mengatasinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan wilayah perdesaan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, peningkatan inklusi keuangan juga penting untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar tidak mengakses aktivitas ilegal di sektor jasa keuangan. Semisal rentenir hingga pinjol ilegal. 

"Ini adalah salah satu tujuan paling penting untuk mempercepat inklusi keuangan, yang berarti mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat kita melalui percepatan integrasi ke dalam perekonomian masing-masing negara anggota.

ASEAN," kata Mahendra dalam acara Seminar on Financial Inclusion ASEAN di Senayan JCC, Jakarta Pusat, Kamis (24/8/2023).

Dikatakannya, Visi ASEAN 2025 mengenai inklusi keuangan memiliki sasaran yaitu menurunkan rata-rata eksklusi keuangan dari 44 persen menjadi 30 persen. Atau meningkatkan persentase inklusi keuangan menjadi 70 persen dan meningkatkan kesiapan infrastruktur inklusi keuangan dari 70 persen menjadi 8 persen.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menjelaskan, berbagai program dan kebijakan yang telah dan akan dijalankan OJK untuk terus mendorong inklusi keuangan di masyarakat pedesaan. 

3 dari 3 halaman

TPAKD

 Antara lain melalui pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang saat ini sudah mencapai 495 TPAKD di 34 provinsi. Kemudian, OJK secara konsisten terus melakukan inovasi untuk mendorong percepatan inklusi keuangan di seluruh daerah dengan menerapkan program Ekosistem Keuangan Inklusif yang sudah terbentuk di 35 desa.

"Inklusi keuangan adalah kunci untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan serta mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Friderica.

Menurut Friderica, perkembangan program inklusi keuangan seperti TPAKD menunjukkan korelasi positif dengan peningkatan indeks inklusi keuangan di perdesaan. 

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022, indeks inklusi keuangan di perdesaan meningkat dari 68,5 persen pada tahun 2019 menjadi 82,7 persen pada tahun 2022. Sedangkan di perkotaan meningkat dari 83,6 persen pada tahun 2019 menjadi 86,7 persen pada tahun 2022. 

"Hal ini secara signifikan mempersempit kesenjangan indeks inklusi keuangan antara pedesaan dan perkotaan dari 15 persen pada tahun 2019 menjadi 4 persen pada tahun 2022," ujarnya mengakhiri.  Â