Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa akan mengusulkan pembuatan Instruksi Presiden (Inpres) untuk mengatasi perubahan iklim. Langkah itu guna mencegah hal yang lebih buruk terjadi di Indonesia akibat perubahan iklim.
Suharso menjelaskan, perubahan iklim sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Alasannya, sudah banyak dampak yang dirasakan sejauh ini seperti hilangnya pulau hingga tergerusnya garis pantai.
Baca Juga
“Di studi kami, banyak pulau-pulau yang terancam tergerus luasnya, dan kita tidak tahu nanti 100 tahun yang akan datang pulau apa yang hilang,” ujar dia dikutip dari Antara, Rabu (30/8/2023).
Advertisement
Salah satu contoh yang terimbas dampak perubahan iklim adalah Gili Trawangan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pulau itu mengalami abrasi sejauh empat (4) meter per tahun yang kemudian disikapi oleh masyarakat setempat dengan menanam pohon cemara untuk menanggulangi proses pengikisan pantai tersebut.
“Saya bilang bukan (menanam pohon cemara), harusnya adalah mangrove. Masyarakat (setempat) tidak mengerti fungsi dari mangrove. Jadi, ada distance knowledge masyarakat dengan lingkungannya,” ungkap Kepala Bappenas.
Begitu pula dengan persoalan reklamasi Teluk Benoa di Bali yang sudah diwanti-wanti Bappenas bahwa rencana proyek tersebut akan mengubah pola arus yang berdampak terhadap ekosistem laut. “Itu (dampak dari proyek reklamasi) sekarang terjadi,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Suharso juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyusun inpres baru untuk tahun 2024 mengenai air bersih. Hal tersebut dilakukan karena persoalan air bersih dinilai tidak bisa diatasi oleh pemangku kepentingan di tingkat daerah.
“Kami sedang mencoba menyusun investasi mengenai air bersih. Mudah-mudahan itu langsung direspon dengan baik oleh Pak Presiden (Joko Widodo) dan mudah-mudahan kita bisa alokasikan,” ucapnya.
Peneliti PBB Ingatkan Gelombang Panas Bakal Makin Panjang dan Mematikan, Daerah Tropis dan Subtropis Paling Terdampak
Sebelumnya, peneliti dari PBB menegaskan bahwa perubahan iklim meningkatkan keparahan dan durasi gelombang panas, yang di beberapa tempat bisa terjadi sepanjang tahun. Dilansir dari The Korea Times pada Kamis (24/8/2023), berita utama belakangan ini kerap dikuasai oleh kejadian panas yang ekstrem, dari fenomena "kubah panas" yang mempengaruhi sebagian besar Eropa, hingga insiden kebakaran hutan yang disebabkan oleh suhu tinggi di Yunani, Spanyol, Kanada, dan Hawaii, serta kenaikan suhu di musim dingin di Amerika Selatan.
Menurut John Nairn, seorang ahli senior dalam hal panas ekstrem di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB yang berbicara dengan AFP, gelombang panas kini datang lebih dini, bertahan lebih lama, dan dengan intensitas yang lebih tinggi.
"Ini adalah hasil langsung dan tercepat dari pemanasan global yang kita amati dalam dinamika cuaca," ungkap Nairn, menambahkan bahwa fenomena ini sesuai dengan proyeksi ilmiah.
"Orang-orang tampaknya menganggap ringan gejala-gejala ini. Ilmuwan sudah memprediksi kejadian ini. Ini bukanlah akhir (dari gelombang panas), kejadian ini hanya akan bertambah parah dan lebih sering terjadi," tuturnya dengan kesal.
Salah satu faktornya, menurutnya, adalah dampak dari pemanasan global yang menyebabkan penurunan kekuatan aliran jet global, yaitu aliran udara yang berada di ketinggian atmosfer bumi.
Ketika pola aliran jet menjadi lebih pelan dan lebih tidak stabil, ini menyebabkan sistem cuaca untuk bertahan di satu wilayah dalam jangka waktu yang lebih panjang. "Ada kemungkinan dalam suatu musim panas, kita menghadapi gelombang panas yang berkepanjangan, dan suhu terus meningkat tanpa henti, sebab aliran tersebut stagnan," ujar Nairn.
Advertisement
Pola Gelombang Panas
Nairn mengungkapkan bahwa ketika kita memandang planet Bumi secara menyeluruh, tampak jelas bahwa gelombang panas muncul dengan pola yang sama di seluruh penjuru dunia. "Pola cuaca yang melambat dan stagnan mengakibatkan wilayah seperti Amerika Utara, sebagian Samudera Atlantik, Eropa, dan Asia menghadapi puncak gelombang panas secara simultan."
Gelombang panas termasuk di antara bencana alam yang paling mematikan, dengan angka kematian mencapai ratusan ribu tiap tahunnya akibat komplikasi panas yang sebenarnya bisa dihindari. Nairn menyarankan agar diskusi tentang panas dilakukan dengan lebih berwawasan.
Ia menekankan perlunya memberikan perhatian lebih pada kenaikan suhu minimum saat malam dibandingkan dengan puncak suhu di siang hari yang sering menjadi sorotan. Suhu malam yang tinggi dan berkelanjutan sangat merugikan kesehatan, sebab tubuh tidak sempat memulihkan diri dari paparan panas siang harinya.
Suhu malam yang lebih tinggi juga berimplikasi pada penumpukan energi dari siang hari yang tak bisa disalurkan, yang pada akhirnya mendorong suhu untuk menjadi lebih panas di hari berikutnya. "Kenyataan bahwa suhu terendah meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan suhu tertinggi menyebabkan penumpukan energi selama periode dengan suhu yang lebih tinggi dan lebih lama," ujar Nairn.
"Konsekuensinya bersifat bertambah, sehingga gelombang panas menjadi lebih mematikan. Seiring perubahan iklim yang terus berlangsung, kondisi akan semakin memburuk," tambah Nairn.
Gelombang Panas yang Lebih Lama
Ia mengekspresikan kekhawatirannya, khususnya terhadap kondisi di wilayah tropis dan subtropis, merujuk pada fenomena rekor suhu tinggi di Amerika Selatan, di mana suhu mencapai 40 derajat Celsius meskipun sedang musim dingin. Ke depan, Nairn mengatakan bahwa kita akan menyaksikan gelombang panas yang lebih sering dan berlangsung lebih lama sepanjang tahun.
"Di kawasan tropis dan subtropis, sangat disayangkan bahwa ada tanda-tanda yang menunjukkan potensi gelombang panas yang lebih ekstrem dan parah dapat muncul kapan saja sebelum abad ini berakhir," ucap Nairn.
Meski di daerah lintang lain, kurangnya paparan sinar matahari berarti kemungkinan gelombang panas sepanjang tahun sangat rendah, namun Nairn menegaskan bahwa di wilayah tersebut kita akan melihat lebih sering periode dengan suhu yang lebih tinggi di luar musimnya, termasuk di musim dingin.
Menanggapi pertanyaan mengenai langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasi kenaikan suhu yang ekstrem, Nairn menyarankan bahwa semua orang memiliki potensi untuk memperbaiki situasi ini.
"Kita harus beralih ke energi listrik, dan berhenti mengandalkan bahan bakar fosil. Tidak ada yang lebih sulit dari itu," ucapnya.
Advertisement