Liputan6.com, Jakarta Pengamat Lingkungan Hidup Sudharto P Hadi mengatakan pengguna kendaraan pribadi belum begitu mengerti terhadap dampak negatif yang dihasilkan dari perilakunya.
Hal ini secara tidak langsung berdampak pada semakin memburuknya polusi udara.
Baca Juga
“Ada negative externalities atau eksternalitas negatif yang merupakan konsekuensi negatif dari aktivitas ekonomi (konsumsi atau produksi) pada pihak ketiga yang tidak terkait,” kata Sudharto dikutip Kamis (31/8/2023).
Advertisement
Menurtnya, beberapa eksternalitas negatif bisa dihasilkan dari penggunaan kendaraan pribadi dan industri, yaitu polusi udara yang bisa berakibat fatal pada kesehatan.
“Untuk itu, penting kiranya publik sadar betul terkait negative externalities tersebut.”
Pada tingginya kesadaran masyarakat akan negative externalities, dia mencontohkan, ada di Provinsi Bali waktu perayaan hari raya Nyepi. Saat Nyepi, masyarakat di Bali dilarang ada yang melakukan aktivitas, apalagi berkendara dengan kendaraan bermotor.
“Saat itu polusi udara di Bali sangat rendah,” kata Sudharto.
Namun demikian, jelasnya, Jakarta tidak perlu mengambil langkah ekstrim seperti perayaan Nyepi di Bali dengan tidak beraktivitas.
“Bisa dilakukan dengan cukup mengurangi penggunaan kendaraan pribadi saja. Itu sudah cukup mengurangi polusi di Jakarta.”
Saat ini, sektor transportasi masih tercatat menempati urutan tertinggi penyumbang polutan di Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan sumber polusi udara di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya berasal dari kendaraan dengan kontribusi 44%.
Atasi Polusi Udara, Pengusaha Minta Jakarta Belajar dari Sumatera
Isu polusi udara yang kian mencemari langit Jakarta dan sekitarnya menjadi perhatian para pengusaha muda. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengaku akan membawa isu tersebut ke dalam Rapat Koordinasi Bidang (Rakorbid) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-XVIII.
Ketua Panitia Organizing Committee Rakernas HIPMI XVIII Afifuddin Suhaeli Kalla mengatakan, isu polusi udara Jakarta masuk ke dalam lingkup kerja HIPMI yang membawahi bidang lingkungan hidup.
Afif berkata, HIPMI akan meminta masukan dari anggota-anggotanya di daerah yang pernah terkena imbas polusi udara di wilayah kerjanya, khususnya di Sumatera.
"Karena kan polusi udara banyak di kota-kota di Sumatera juga dulu pernah ada, gara-gara pembakaran hutan segala macam. Case by case-nya kan beda-beda nih. Tapi intinya sama-sama polusi," ujar Afif kepada Liputan6.com di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (30/8/2023).
"Mungkin nanti kita matangkan, kita tanya juga pengalaman dari teman-teman daerah yang pernah kena polusi udara. Kita di Jakarta juga kan baru nih. Kita saling tukar informasi juga, supaya perumusannya ini bersifat nasional dan saling berbagi antar daerah," tuturnya.
Bila melihat ke belakang, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada September 2019 lalu sempat menginformasikan, terjadi tren kenaikan pencemaran udara di wilayahnya Sumatera. Hal ini terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap pekat.
Advertisement
Partikel Udara
Itu tergambar dari partikulat (PM10), yakni partikel udara yang berdiameter kurang atau sama dengan10 µgram per meter kubik dengan Nilai Ambang Batas (NAB) harian konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien adalah 150 µgram permeter kubik.
BMKG melaporkan, konsentrasi PM10 di Sumatera selama September 2019 secara umum masih menunjukkan nilai di bawah NAB (nilai ambang batas), namun tren konsentrasi harian terus meningkat.
Sebagai contoh, pada 12 dan 13 September 2019, konsentrasi PM10 di Pekanbaru, Riau melonjak melebihi nilai batas ambang.
Tak hanya Sumatera, beberapa kota di Kalimantan pada waktu itu juga terkena pencemaran udara di atas ambang batas aman. Sebagai contoh, tren konsentrasi harian di wilayah Sampit pada 13 September 2019 terus meningkat hingga mencapai nilai tertinggi di hingga di atas 550 mikron.