Liputan6.com, Jakarta - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN 2023 akan diselenggarakan di Jakarta, pada 5-7 September 2023 mendatang. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan ini adalah mengenai perubahan iklim dan transisi energi.
Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Mouna Wasef menjelaskan, dalam keketuan ASEAN 2023 ini, Pemerintah Indonesia menyebut dalam kuartal I berhasil menyepakati prioritas penguatan ketahanan energi melalui pembangunan ekosistem kendaraan listrik.
Baca Juga
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam sambutannya pada Joint Opening The 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM-41) and The ASEAN Business Energy Forum (AEBF) di Bali menyebut di sektor energi Indonesia akan berfokus pada tujuan utama ketahanan energi berkelanjutan melalui interkonektivitas.
Advertisement
Diantaranya meningkatkan interkonektivitas melalui Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN Power Grid (APG), serta komitmen antarpihak lainnya.
“Namun demikian, komitmen transisi energi, sejauh ini lebih banyak terfokus pada aspek teknokratis pengurangan penggunaan energi fosil dan mempercepat pengembangan energi terbarukan, namun mengabaikan aspek keadilan, termasuk keadilan gender dan inklusi sosial sebagai faktor pemungkin untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan,” ungkap Mouna dikutip pada Sabtu (2/9/2023).
Mouna menjelaskan bahwa kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seringkali kurang terwakili di sektor energi dalam hal pekerjaan, peran kepemimpinan, akses energi, pengambilan keputusan, dan pengembangan kebijakan karena norma-norma sosial, kurangnya pendidikan dan pelatihan, serta akses yang tidak memadai terhadap teknologi dan keuangan.
Kesetaraan dan Inklusi
Selain itu, masyarakat yang terpinggirkan dan rentan mempunyai hambatan dalam mengakses layanan energi. Kurangnya akses terhadap layanan energi bagi masyarakat rentan berpotensi melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Sementara itu,kurangnya akses terhadap partisipasi dan keterlibatan, khususnya dalam perencanaan dan implementasi kebijakan, akan menghambat transisi energi yang adil dan inklusif.
Mouna mengingatkan bahwa kesetaraan dan inklusi sosial merupakan hal mendasar untuk memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal, dan kelompok rentan memiliki akses terhadap peluang yang tercipta melalui transisi. Transisi energi harus disesuaikan dengan konteks lokal di mana transisi tersebut pada akhirnya akan terjadi.
“Menyesuaikan rencana dan implementasi transisi energi dengan kebutuhan lokal dan melibatkan masyarakat, terutama perempuan, penyandang disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, masyarakat adat, dan kelompok marginal serta kelompok rentan lainnya, sejak awal tahap desain sangatlah penting," jelas dia.
Advertisement
Transisi yang Lebih Adil
Transisi yang dirancang bersama, terutama bagi mereka yang terkena dampak dan secara historis mengalami kerugian dari praktik buruk pertambangan, akan meningkatkan keberhasilan transisi dan memungkinkan terjadinya transisi yang lebih adil dan inklusif.
"Ini yang harus ditangkap oleh Pemimpin ASEAN jika ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan” desak Mouna.
Mouna juga mendesak dalam setiap dokumen komitmen ASEAN juga memasukkan sekaligus menerjemahkan prinsip-prinsip berkeadilan seperti tidak meninggalkan siapapun (leaving no one behind), keberlanjutan dan ketahanan (sustainability dan resiliency), pengakuan akan HAM, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, serta akuntabilitas.