Liputan6.com, Jakarta Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini, mengatakan saat ini energi terbarukan Indonesia yang berasal dari panas bumi masih kecil, kapasitasnya masih berkisar 700 megawatt. Artinya, masih sangat rendah.
Kendati demikian, pihaknya optimis bahwa dalam kurun waktu lima tahun kedepan energi terbarukan dari panas bumi akan meningkat signifikan.
Baca Juga
"Jadi, menurut saya dalam lima tahun ke depan akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan," kata Emma dalam Plenary Session on ASEAN Indo-Pasific Forum (AIPF) dengan tema diskusi Green Infrastructure and resilient supply chain, di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk mengatasi transisi energi yang berasal dari panas bumi. Pertama, yaitu dekarbonisasi re-existing business dengan menjalankan model bisnis yang semakin hijau.
Advertisement
"Menurut saya, ini adalah strategi kita juga untuk mengatasi transisi energi global dengan menetapkan dua strategi utama. Yang pertama, adalah dekarbonisasi re-existing business. Bagaimana kita bisa beroperasi dengan model operasi The Greener dengan bisnis yang sudah ada," jelasnya.
Strategi Kedua
Strategi kedua, yaitu dengan membangun bisnis bahan bakar rendah karbon dan membangun bisnis ramah lingkungan. Hal ini kaitannya dengan pemanfaatan amonia hijau, hidrogn hijau, dan sebagainya.
Sebagai informasi, Amonia hijau (green ammonia) adalah amonia yang dihasilkan dari bahan baku non-hidrokarbon dan menggunakan sumber energi non-hidrokarbon (energi hijau). Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diperoleh dari sumber bersih tanpa emisi karbon.
"Ini ada hubungannya dengan amonia hijau, hidrogen hijau, dan sebagainya. Jadi menurut saya hal ini merupakan mandat, untuk dilaksanakan pada waktu yang sama," pungkas Direktur Keuangan Pertamina tersebut.
Jurus Pertamina Tarik Investasi, Bisa Ditiru Negara Kawasan Indo-Pasifik
Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini, mengatakan, Pertamina memiliki strategi tersendiri untuk menarik investasi, yaitu dengan cara membentuk enam subholding.
Hal itu disampaikan Emma dalam Plenary Session on ASEAN Indo-Pasific Forum (AIPF) dengan tema diskusi Green Infrastructure and resilient supply chain, di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Pembentukan enam subholding di Pertamina dilakukan pada saat pandemi covid-19. Sebab, pada saat itu dikhawatirkan terjadi gangguan yang dapat mengancam jalannya Pertamina dalam melakukan transisi energi ramah lingkungan.
"Dimulai pada tahun 2020, dengan adanya faktor pendorong terjadinya pandemi covid pada saat itu, kami merestrukturisasi organisasi kami untuk mengantisipasi transisi energi ramah lingkungan. Kami membentuk enam Grup subholding yang berbeda berdasarkan clusternya," kata Emma.Enam subholding di bawah Pertamina, yaitu Upstream Subholding, Gas Subholding, Refinery and Petrochemical Subholding, NRE Subholding, Commercial and Trading Subholding, dan Integrated Marine Logistics Subholding.
Adapun subholding Upstream masih fokus pada bisnis bahan bakar fosil. Emma mengatakan, proporsi pendapatan Pertamina saat ini sebagian besar masih disumbang oleh bahan bakar fosil sebesar 95 persen.
"Karena pertamina proporsi pendapatan kami sebagian besar disumbang oleh bahan bakar fosil lebih dari 95 persen," ujarnya.
Â
Advertisement
Energi Terbarukan
Kendati demikian, menurut dia, kedepannya Pertamina akan terus mendorong pendapatan yang berasal dari energi terbarukan. Ia pun optimis pendapatan dari energi terbarukan yang dikelola Pertamina bisa semakin meningkat seiring berjalannya waktu.
"Saya pikir itulah sebabnya kami mencoba untuk menempatkan lebih banyak alokasi belanja modal, untuk lebih meningkatkan investasi di bidang energi terbarukan," ujarnya.
Menurutnya, strategi dengan membentuk enam subholding tersebut sangat efektif untuk menarik investasi dan bisnis sesuai dengan sektornya. Kata Emma, hal tersebut bisa diterapkan juga oleh negara di kawasan Indo-Pasific.
"Strategi ini menurut saya sangat efektif untuk menarik investasi, menarik bisnis yang cocok dengan sektor mana," pungkasnya.