Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meyakini ekonomi Indonesia bisa terus tumbuh. Bahkan, dia mengantongi data kalau ekonomi Indonesia bisa melesat melewati Rusia pada 2025 mendatang.
Ini didasari oleh ambisi Indonesia yang mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen atau lebih tinggi dalam beberapa waktu kedepan. Data yang dikatongi Luhut mengaca pada hasil studi Atlantic Council.
Baca Juga
"Atlantic Council juga merilis studi mereka, mungkin pada tahun 2025, Indonesia bisa melampaui ekonomi Rusia," kata dia dalam Konferensi Pers Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2023, di Hotel Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Dengan begitu, kata dia, Indonesia akan masuk pada jajaran ke-6 dalam daftar ekonomi terbesar dunia.
Advertisement
"Jadi kita akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-6, itu menurut saya yang diumumkan oleh Atlantic Council tiga hari yang lalu," ungkapnya.
Proses Hilirisasi
Menko Luhut mengaitkan optimisme ini pada kesuksesan dari proses hilirisasi yang dilakukan di Tanah Air. Pada kesempatan ISF 2023 ini, Menko Luhut juga menjabarkan kalau hilirisasi bisa menekan angka kemiskinan
"Mungkin Anda tahu bahwa angka yang saya tunjukkan, slide, dampak dari hilirisasi nikel atau bauksit, tembaga, timah, rumput laut, gas, ini bisa membawa negara ini menjadi negara yang sangat-sangat kuat dalam waktu dekat," ujarnya.
Atas hal itu, dia meyakini Indonesia bisa merangkak naik ke posisi ke-4 dunia dari porsi ekonominya.
"Dari sisi ekonomi, sekali lagi saya percaya bahwa pada tahun 2050 atau lebih awal kita bisa menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 atau ke-5 di dunia, karena hari ini kita sudah 1,45 triliun dolar AS PDB," papar Menko Luhut.
Â
Krisis Iklim Rugikan Dunia USD 23 Triliun
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap besarnya kerugian dunia akibat krisis iklim. Angkanya diprediksi mencapai USD 23 Triliun.
Hal ini disampaikan Menko Luhut ketika membuka Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2023. Tak cuma kerugian secara ekonomi, Menko Luhut mencatat ada kerugian lainnya dari adanya krisis iklim ini.
"Krisis iklim merugikan perekonomian global sebesar USD 23 triliun pada tahun 2050 dengan sekitar 3 juta kematian setiap tahunnya," kata dia dalam sambutannya di ISF 2023, Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Masalah Utama
Dia memandang kalau krisis iklim menjadi masalah utama bagi generasi saat ini. Menko Luhut mengatakan, bumi kini semakin layak dihuni dengan jumlah yang memecahkan rekor dan skala bencana yang merusak.
"Pada bulan Juli 2023 terjadi suhu rata-rata global tertinggi dalam sejarah, dengan 1,5 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan rata-rata pada masa pra-industri," ungkapnya.
"Sebagai pengganda ancaman, krisis iklim berdampak pada ketahanan pangan, pembangunan daerah pedesaan, dan kemiskinan," sambung Menko Luhut.
Â
Advertisement
Menko Luhut Tagih Janji
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menagih janji langkah konkret dalam upaya mengatasi perubahan iklim kedepan. Langkah itu dinilai perlu dilakukan sesegera mungkin.
Menko Luhut menyampaikan, perubahan iklim dan krisis iklim terbukti membawa dampak buruk bagi seluruh kawasan di lingkup global. Maka, saat ini dinilai jadi waktu penting untuk menentukan langkah mengatasi dampak perubahan iklim.
"Kita berada pada masa yang sangat penting dalam sejarah, ketika tindakan atau kelambanan kita akan menentukan kesejahteraan generasi mendatang," ujar dia saat membuka Indonesia Sustainability Forum 2023 di Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Menko Luhut menilai, upaya mengatasi krisis iklim bukan langkah individu atau negara tertentu saja. Tapi diperlukan setiap lapisan masyarakat untuk berkolaborasi.
"Setiap orang perlu mengambil tindakan dan bertindak untuk menyelamatkan masa depan dari perubahan iklim," kata dia.
Dia menegaskan, secara global, telah banyak janji-janji atau komitmen dalam menangani dampak perubahan iklim. Tapi, dia menyoroti perlu adanya langkah konkret yang diambil saat ini.
"Secara global, banyak hal telah dituangkan di atas kertas. Namun, kolaborasi internasional yang konkrit, dengan kecepatan dan skala besar, sangat dibutuhkan," tegasnya.