Liputan6.com, Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat jumlah titik panas atau hotspot di Indonesia telah mencapai 3.788 titik panas per 5 September 2023. Namun, jumlah itu ternyata masih lebih kecil dibanding hasil pantau gambut.
Catatan Pantau Gambut pada area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) melalui citra satelit menemukan adanya 14.437 titik panas (hotspot) pada periode tersebut. Angka ini mengalami lonjakan hingga lebih dari 4 kali lipat dibandingkan Juli 2023, dengan 3.309 titik panas.
Baca Juga
Analisis Pantau Gambut menemukan 3.816 titik panas pada total 208 area konsesi. Juru kampanye Pantau Gambut Abil Salsabila menyebutkan, danya titik panas di area perusahaan dapat mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Advertisement
Lahan Sawit Ilegal
Ia pun mempertanyakan keseriusan komitmen pemegang konsesi terhadap upaya pencegahan karhutla yang terjadi di area kerjanya. Terlebih setelah adanya aksi pengampunan lahan sawit ilegal alias pemutihan lahan sawit.
*Hal ini menandakan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap korporasi, dimana dalam konteks ini pemutihan sawit di dalam kawasan hutan memperbesar risiko terhadap perlindungan ekosistem gambut. Sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap keputusan pemutihan ini," ujar Abil dalam keterangan tertulis, Senin (11/9/2023).
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi Kalteng, Bayu Harinata, menambahkan temuan dari pemantauan lapangan yang dilakukan pada 4 kabupaten/kota, yakni Kapuas, Palangka Raya, Katingan, dan Pulang Pisau.
Walhi Kalteng dilaporkannya menemukan adanya kepulan asap Kebakaran Hutan dan Lahan pada tiga lahan konsesi. "Ada indikasi karhutla yang terjadi merupakan upaya pembukaan lahan baru," kata Bayu.
Apa Benar Perubahan Iklim Jadi Biang Kerok Kebakaran Hutan dan Lahan? Ini Kata BMKG
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di sejumlah daerah. Apakah benar karhutla di Tanah Air ini disebabkan oleh perubahan iklim?
Plt Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan kaitan keduanya.
Menurut dia, musim kemarau yang cukup kering dan berkepanjangan menjadi penyebab dari kebakaran hutan yang terjadi saat ini.
“Kalau kebakaran hutan, pertama memang karena kita saat ini musim kemaraunya cukup kering ya,” ucap Ardhasena kepada Liputan6.com, Selasa 5 September 2023.
Musim kemarau di Indonesia tahun ini terjadi lebih panjang karena fenomena El Nino.
Ardhasena mengatakan fenomena El Nino terjadi Februari atau Maret. Namun, dampak yang ditimbulkan El Nino akan dirasakan hingga akhir Oktober di Indonesia.
“Kalau yang ini El Nino-nya sampai Februari, Maret ya sebagai fenomenanya. Tapi dampaknya hanya akan sampai akhir Oktober di Indonesia,” kata Ardhasena.
El Nino adalah bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan laut di daerah katulistiwa tengah dan timur.
Lalu, apa benar musim kemarau dan El Nino penyebab kebakaran hutan dan lahan di Tanah Air?
Ardhasena mengatakan, kedua faktor itu hanyalah 'latar belakang' dari karhutla. Namun, perbuatan manusia menjadi faktor utama terjadinya karhutla, karena hutan dan lahan tidak dapat terbakar dengan sendirinya.
“Musim kemarau yang kering dan El Nino itu hanya menyebabkan kondisi iklim sebagai latar belakangnya,” ujar Ardhasena.
“Terjadinya kebakaran hutan, tentunya ada faktor manusia yang ada di situ,” sambung dia.
Advertisement
Kejadian Ekstrem
Ardhasena menjelaskan, BMKG memonitor komponen atmosfer bumi beberapa puluh tahun ini. Pada pengamatan itu terlihat, perubahan iklim ini membuat temperatur di Bumi naik.
“Kita kan mau monitor komponen atmosfer ya, lalu kita melihat dari monitoring itu terjadi perubahan iklim selama beberapa puluh tahun ini. Dan salah satu tanda-tandanya dia bisa akan kenaikan temperatur,” kata Ardhasena.
Dia mencontohkan dampak perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan naiknya suhu Bumi. Naiknya temperatur Bumi ini, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair dengan lebih cepat.
“Paling pertama kan bumi memanas lalu kemudian terjadinya pencairan es misalkan ya. Kutub utara dan Kutub Selatan lebih mencair. Turunan lainnya misalkan kepada terganggunya siklus hidrologi jadi siklus hidrologi lebih cepat gitu,” kata Ardhasena.
Menurut dia, kekeringan yang berkepanjangan di Indonesia, membuat beberapa lokasi mengalami kejadian-kejadian yang ekstrem.
“Bisa juga kekeringan berkepanjangan seperti kita lihat sekarang di banyak lokasi maupun juga di Indonesia gitu. Jadi lebih banyak kejadian-kejadian ekstremnya,” ucap Ardhasena.